Baiq Zuhriatun, S.Si
Pengampu MK Mohamad Mustari, MM, MA PhD.
PASCA UNIVERSITAS MATARAM
baiqzuhriatun77@gmail.com
“The world is flat”, ungkap Thomas L. Friedman dalam bukunya yang
berjudul sama. Buku yang dipublikasikan pada tahun 2005 ini menyorot
kondisi dunia pada abad ke-21 yang
semakin ‘datar’ oleh fenomena globalisasi. Dunia tidak lagi semacam wahana
‘bergelombang’ yang tak tersentuh dan tak tereksplorasi. Orang-orang bisa
berpindah tempat dalam tempo yang singkat. Kita bisa mengakses miliaran byte informasi hanya dengan mengetikkan
jemari di keyboard.
Sepintas, perkembangan
teknologi informasi yang semakin pesat memberikan banyak kemudahan bagi
manusia. Teknologi internet, misalnya. Kita bisa mengakses informasi apa pun
yang berasal dari belahan bumi lainnya tanpa perlu ke tempat tersebut.
Pengiriman surat hanya membutuhkan beberapa detik melalui surat elektronik
(surel). Transaksi pembelian barang bisa dilakukan dengan cepat melalui
situs-situs belanja online. Bahkan,
belakangan muncul fenomena orang-orang yang menjadikan internet sebagai salah
satu sumber mata pencaharian, yakni dengan menjadi full-time blogger, internet marketer, atau forex trader.
Namun, jika ditilik lebih
dalam lagi, kemajuan teknologi informasi memunculkan dampak negatif yang tidak
sedikit. Sekadar menyebutkan contoh, beberapa di antaranya adalah meningginya
angka kriminalitas di dunia maya (defacing,
cracking, fishing, penipuan), kasus jual beli manusia bahkan pulau melalui
internet, meluasnya penyebaran informasi dan berita-berita yang tidak layak
konsumsi untuk anak-anak dan remaja, dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan bidang
kearsipan? Apakah perkembangan teknologi informasi memberikan dampak yang sama
sebagaimana yang dialami oleh bidang lainnya? Sejauh mana kesiapan dunia
kearsipan di Indonesia dalam mengadopsi perkembangan teknologi informasi,
khususnya sistem digitalisasi?
Salah satu bentuk rekaman
tertulis itu adalah arsip. Arsip yang dalam bahasa Inggris disebut “archive” juga memiliki nama lain, yakni file yang berarti simpanan, yaitu berupa
wadah, tempat, map, kotak, almari kabinet, dan sebagainya yang dipergunakan
untuk menyimpan bahan-bahan arsip yang sering disebut berkas (Hasugian,
2003).
Dalam pemahaman sederhana,
arsip dapat dinyatakan sebagai salah satu produk kantor. Artinya, kearsipan
merupakan salah satu jenis pekerjaan kantor, terutama bagian tata usaha, yang
banyak dilakukan oleh badan-badan pemerintah maupun swasta. Kearsipan
menyangkut pekerjaan yang berhubungan dengan penyimpanan warkat atau
surat-surat serta dokumen-dokumen kantor lainnya.
Kearsipan penting bagi
organisasi atau instansi, yakni sebagai sumber informasi dan sebagai pusat
ingatan bagi organisasi. Selain sebagai aset, kearsipan juga berguna sebagai
bahan pembuatan kebijakan organisasi. Mengingat arti pentingnya, bahkan
pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang cukup besar terhadap kearsipan. Hal
ini dibuktikan dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan. Di situ disebutkan bahwa kearsipan memiliki nilai
penting sebagai bahan bukti akuntabilitas kinerja instansi pemerintah/swasta
sekaligus pertanggungjawaban nasional.
Selama ini, bahan-bahan
arsip lebih banyak berupa kertas, seperti: catatan-catatan, piagam-piagam,
surat-surat, keputusan-keputusan, akte-akte, daftar-daftar, dokumen-dokumen,
peta-peta, dan sebagainya. Melihat bahan dasarnya tersebut, maka arsip sangat
rentan terhadap bahaya yang disebabkan oleh peristiwa alam (banjir, tanah
longsor, kebakaran, dan sebagainya) serta gangguan binatang perusak (tikus,
serangga, jamur, dan sebagainya).
Bagi instansi yang besar
dengan kegiatan administrasi dan operasional yang cukup sibuk, terkadang
membuat satu bangunan khusus untuk menyimpan arsip. Ini tentu saja membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Masalah sekuritas atau keamanan juga belum bisa
tertangani dengan baik, lebih-lebih jika arsip diletakkan sembarangan. Bahkan,
jika tidak sesuai prosedur, arsip bisa mengalami penyusutan yang parah. Bila
ini terjadi, maka kehilangan informasi yang penting dan mungkin bersifat
rahasia tidak bisa dihindarkan.
Seiring dengan perkembangan
teknologi informasi, maka kendala-kendala tersebut di atas bisa dicarikan jalan
keluarnya. Salah satunya adalah melalui sistem digitalisasi. Jadi, arsip
dimigrasikan ke dalam bentuk data elektronik, yakni lewat teknik scanning dan dikomputerisasikan. Data
arsip elektronik yang disimpan sebagai master dengan ukuran tertentu dijadikan
bahan dasar, kemudian dikonversi ke dalam jenis file tertentu serta dikompresi sesuai keperluan, misalnya untuk
bahan dalam program layanan arsip, bahan presentasi, pameran, dan
sebagainya.
Menurut Qosim (2008), ada
beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan pengalihan media arsip ke data
elektronik, antara lain: arsip mudah didapatkan, penyelesaian pekerjaan lebih
cepat, akses layanan lebih mudah dan lebih cepat, dan pemeliharaan data lebih
murah dan lebih mudah. Selanjutnya, kumpulan arsip dalam bentuk digital atau
elektronik dapat diakses lebih luas melalui jaringan internet lokal juga online.
Lantas, timbul pertanyaan,
bagaimana cara pemigrasian data arsip manual ke dalam bentuk data digital?
Qosim (2008) menjelaskan bahwa secanggih apapun sistem pengelolaan arsip, hal
tersebut selalu dimulai dari pengolahan secara manual. Kegiatan pengolahan ini
dimulai dengan pemilahan arsip untuk memisahkan antara arsip dan non-arsip,
mendeskripsi, manuver kartu deskripsi, manuver berkas, membungkus arsip dan
menyimpan, serta membuat daftar arsip (inventaris) sebagai sarana pencarian dan
penemuan kembali arsip.
Setelah itu, arsip-arsip
yang bermediakan kertas, seperti teks dan foto didigitalisasi dengan teknik scanning. Arsip yang berbentuk audio dan
audio visual yang tersimpan dalam kaset atau film juga digitalisasi dan
dikonversi ke dalam data suara atau audio visul jenis elektronik, seperti file mp3 atau mpeg. Hasil digitalisasi ini kemudian diolah, dibuat daftarnya,
dimasukkan ke dalam daftar arsip, dan diedit. Barulah arsip digital yang sudah
rapi dan sistematis tersebut disalin dan disimpan ke media berupa cakam digital
(CD/DVD) atau penyimpanan eksternal (external
hardisc storage).
Perlu diingat, digitalisasi
ini hanyalah sebagai back up atau
data sekunder dari pengelolaan arsip manual. Namun, tidak menutup kemungkinan
jika suatu saat nanti, sistem digitalisasi ini akan menggantikan sistem
pelayanan manual arsip selama ini. Tentu saja, keterdukungan perangkat (lunak
maupun keras), ahli atau sumber daya manusia yang kompeten, dan regulasi
mengenai pedoman layanan juga perlu diperhatikan untuk bisa go digital secara optimal. Akan percuma
jika salah satu dari aspek tersebut tidak terpenuhi.
Agar bisa diakses oleh
publik global, setelah melakukan digitalisasi, maka langkah selanjutnya adalah
memasukkan data-data arsip digital tersebut ke dalam situs. Tentu saja, perlu
dipilah, mana data yang boleh diakses oleh publik secara bebas dan mana data yang
tidak perlu disebar karena sifatnya yang rahasia. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan adanya ancaman kejahatan di dunia maya (cyber crime), semisal pencurian data, pengubahan wajah situs (defacing), pembobolan password, juga perusakan dokumen. Untuk
itu, sistem perlindungan dan pengamanan sebuah situs arsip digital adalah
sebuah kemutlakan yang harus dikuasai oleh tenaga ahli atau SDM-nya.
One Response
Itís difficult to find experienced people for this topic, but you seem like you know what youíre talking about! Thanks