Suraedatul Istikomah
Istilah Quiet Quitting dewasa ini menjadi bahan perbincangan yang banyak diperbincangkan oleh masyarakat, terutama dalam lingkungan kerja. Pasalnya Quiet Quitting yang secara prinsip menekankan pada perilaku kerja yang apa adanya, serba minimalis hingga tak mengambil libur seperti oasis di padang pasir bagi para pekerja yang selama ini terbiasa dengan Hustle Cultre yakni kerja sepenuhnya serta semaksimal mungkin. Tak ayal tren baru ini mudah diterima oleh masyarakat terutama bagi para pekerja dengan beban kerja berlebihan yang sering berujung pada overwork hingga menyebabkan burnout serta berimbas pada kesehatan mental. Sejatinya Quiet Quitting ialah upaya untuk memperbaiki cara bekerja yang nantinya akan menciptakan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Dengan menerpakan konsep Quiet Quitting para pekerja pun bisa lebih fleksibel bekerja dan dapat menetapakan secara jelas batasan dalam pekerjaan. Meski terlihat baru, sejatinya konsep Quiet Quitting merupakan hal yang prinsipnya telah lama ada. Jika dulu perilaku mengambil jarak dengan kerja diambil secara tidak langsung oleh para karyawan. Maka saat ini, hal tersebut diminta secara langsung oleh mereka.
American psychological association menyebutkan kelelahan dan stres para pekerja saat pandemi memuncak. Quiet quitting bahkan disebut-sebut sebagai respon dari gagasan great resignation. Hal ini berdasarkan fenomena naiknya jumlah para pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi covid-19. Sedikitnya ada 20% pekerja yang merencanakan untuk mengundurkan diri di inggris. Mereka kemudian mencari kondisi kerja yang lebih memuaskan dan upah yang mereka anggap lebih baik.
Apa saja penyebab quiet quitting?
Penyebab quiet quitting di antaranya adalah pandemi yang banyak mengubah pemikiran banyak orang dan memunculkan perspektif hidup yang baru. Memprioritaskan kehidupan dari pada karir juga salah satu hal yang dipikirkan oleh orang dengan quiet quitting. Kadangkala, lingkungan kerja juga berpengaruh dalam kinerja seseorang. Seperti salah satu penyebab quiet quitting juga karena minimnya apresiasi di lingkungan kerja serta lingkungan kerja yang dianggap kurang “bersahabat”. Selain itu, penyebab quiet quitting terakhir adalah adanya pemikiran work life balance.
Bagaimana quiet quitting dalam kehidupan nyata?
Cara mengidentifikasi apakah orang dengan quiet quitting di sekitar adalah melihat apakah ada orang yang selalu menolak untuk lembur juga selalu menolak adanya pekerjaan tambahan. Selain itu, orang dengan quiet quitting juga selalu menolak bekerja di luar jam kantor. Orang dengan quiet quitting biasanya tampil berperan seadanya, dan cenderung menolak berperan lebih. Lalu orang dengan quiet quitting juga bekerja lebih sedikit dan seperlunya saja. Mereka memegang teguh work life balance, sehingga waktunya seimbang antara keluarga, teman, keinginan pribadi dengan pekerjaan. Maka, mereka akan menolak bekerja diluar keharusan.
Tapi apakah quiet quitting aman?
Sayangnya, perusahaan tentu tidak akan betah punyai pekerja yang cenderung sebabkan kinerja buruk bagi perusahaan tersebut dan yang sangat disayangkan adalah mereka yang menyianyiakan kesempatan dan peluang yang bagus untuk karir mereka. Business insider menyebutkan, “Jika pasar tenaga kerja berubah, orang-orang yang melakukan quiet quitting akan berada di urutan teratas daftar phk.” Senada dengan hal tersebut, sebuah artikel bloomberg juga menyebutkan, “Quiet quitting memang bisa melindungi kesehatan mental dan fisik di lingkungan kerja yang toxic. Namun, bertahan dalam pekerjaan yang menyedihkan dan melakukan pekerjaan dengan intensitas minimal bisa berarti juga melepaskan peluang yang bisa datang dari pekerjaan yang lebih baik.