Koekoeh Hardjito, S.Kep.Ns.,M.Kes
Poltekkes Kemenkes Malang
koekoehhardjito@gmail.com
Bagaimana situasi saat ini?
Pada saat ini orang tua menghadapi suatu tantangan yang unik dalam mengasuh buah hatinya, dimana sang anak seringkali menjadi pemilih makanan, menolak makanan yang sudah disiapkan. Kondisi yang seperti ini seringkali dikenal dengan istilah picky eater. Picky eater dapat menyebabkan risiko kekurangan berat badan dan terganggunya pertumbuhan. Variasi makanan yang buruk dengan penolakan sayur dan buah menjadikan penyerapan zat besi, vitamin, mineral dan micro nutrient lainnya terhambat. Terdapat beberapa faktor penyebab dari perilaku pemilihan makanan ini. Pertama, anak-anak umumnya memiliki preferensi rasa yang khas dan sensitivitas terhadap tekstur makanan. Selain itu, faktor psikologis seperti keinginan untuk mandiri dan kontrol juga memainkan peran dalam mengapa anak kita menjadi pemilih makanan.
Maraknya iklan makanan yang menarik bagi anak dan tekanan sosial di lingkungan sekitarnya juga dapat membentuk perilaku pemilihan makanan. Kondisi ini diperparah dengan ketersediaan berbagai makanan olahan yang tinggi gula dan lemak, yang seringkali lebih menarik bagi lidah anak-anak.
Apa dampaknya pada buah hati kita?
Di era modern ini, anak-anak dihadapkan pada berbagai pilihan makanan yang tidak sehat, seperti makanan cepat saji dan camilan manis. Situasi ini dapat memberikan dampak serius pada kesehatan anak. Kebiasaan makan yang tidak seimbang dan kurangnya variasi nutrisi dapat menyebabkan kekurangan gizi dan risiko obesitas. Makanan tinggi gula dan lemak trans dapat berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit jantung dan diabetes di usia yang lebih muda. Beberapa penelitian menunjukkan sekitar 26% balita mengalami picky eater dan terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan picky eater.
Peran teknologi juga tidak dapat diabaikan. Perangkat elektronik seperti tablet dan smartphone seringkali menjadi teman setia anak-anak, menyertai mereka saat makan. Dampaknya, anak-anak dapat menjadi tidak memperhatikan makanan mereka dan tidak menyadari kekenyangan, yang dapat mempengaruhi pola makan yang sehat.
Bagaimana solusinya agar anak menuju pola makan yang sehat?
Ayah bunda, untuk mengatasi fenomena pemilihan makanan pada anak dan menghadapi situasi terkini, solusi-solusi yang holistik dan berkelanjutan perlu diterapkan. Pertama-tama, penting bagi orang tua untuk memahami bahwa memahami preferensi makanan anak dan memasukkan variasi makanan sehat dalam pola makan mereka adalah langkah awal yang krusial.
Memasukkan pendekatan pendidikan gizi sejak dini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada anak mengenai kebaikan makanan sehat. Kampanye penyuluhan di sekolah dan melalui media sosial juga dapat membentuk kesadaran akan pentingnya pola makan yang seimbang.
Selain itu, orang tua memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pola makan sehat. Hal ini melibatkan pembelian dan penyajian makanan sehat di rumah, serta meminimalkan ketersediaan makanan olahan tinggi gula dan lemak. Mendidik anak-anak mengenai pilihan makanan yang baik dan buruk juga dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik.
Teknologi dapat digunakan dengan bijak. Orang tua dapat memanfaatkan aplikasi dan game edukatif yang mempromosikan pola makan sehat. Selain itu, melibatkan anak-anak dalam proses memasak dan merencanakan menu dapat menciptakan hubungan yang positif dengan makanan dan membangun keterampilan memasak yang sehat.
Penting juga untuk menciptakan waktu makan yang berkualitas di mana seluruh keluarga berkumpul. Menghilangkan distraksi elektronik dan menciptakan lingkungan santai dapat membantu anak-anak menyadari proses makan dan kepuasan yang diberikan oleh makanan sehat.
Ketika orang tua dan masyarakat secara kolektif berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pola makan sehat, kita dapat berharap melihat perubahan positif dalam perilaku makan anak-anak. Tidak hanya akan membantu mereka tumbuh dengan kesehatan optimal, tetapi juga membentuk kebiasaan makan sehat yang akan mereka bawa hingga dewasa. Solusi ini memerlukan kolaborasi antara keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat untuk mencapai perubahan yang signifikan dan berkelanjutan.