RR. Indah Wahju Ratnawati, S.Pd
SMP Negeri 2 Kalitidu
rrindahratnawati@gmail.com
Sekolah Pinggiran
Kata – kata sekolah pinggiran memberikan konotasi tersendiri dalam pemikiran kalayak umum. Masyarakat beranggapan bahwa sekolah pinggiran merupakan sebuah sekolah yang jauh dari perkotaan, berada didaerah terpencil, memiliki penghasilan masyarakat yang minimum. Tidak dipungkiri bahwa sumber penghasilan utama wali murid di sekolah pinggiran hanya berasal dari pertanian, peternakan, perikanan, serta jual beli konvensional. Sehingga hidup mereka sangat mengandalkan kebaikan alam. Karena letaknya yang jauh dari kota, akses internet pun tidak bisa menjangkau.
Setiap sekolah dituntut membekali siswanya agar memiliki keterampilan membaca, menulis, bernalar kritis, yang dikenal dengan istilah keterampilan literasi. Keterampilan tersebut bisa diperoleh dari berbagai sumber baik dari media cetak, digital, visual, maupun auditori. Mengembangkan kemampuan berliterasi menjadi tanggung jawab semua pemangku pendidikan. Untuk memfokuskan kegiatan tersebut, dibuatlah program literasi sekolah yang disingkat GLS (Gerakan Literasi Sekolah)
Sejak dicanangkan Gerakan Literasi Sekolah tahun 2015 yang berdasar pada Permendikbud nomor 21 tahun 2015, hampir semua sekolah seakan berlomba untuk membangun kesadaran warga sekolah dalam berliterasi. Bagi sekolah yang memiliki akses internet, banyak hal yang bisa dilakukan. Ada yang menyediakan tablet, laboratorium computer sekolah, ada pula yang mengijinkan siswa-siswinya membawa gawai untuk meningkatkan kemampuan berliterasi.
Hal – hal seperti itu tidak bisa dilakukan oleh sekolah pinggiran. Walaupun ada bantan kuota internet, namun tetap saja tidak bisa digunakan. Kreatifitas guru untuk membentuk lingkungan literat sangat dibutuhkan. Budaya literasi yang ditanamkan pada diri siswa melalui Gerakan Literasi Sekolah, kelak akan berguna dalam kehidupannya.
Kreatifitas guru dalam mewujudkan warga sekolah yang literat sepanjang hayat, menjadi daya tarik tersendiri bagi sekolah-sekolah pinggiran. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh SMPN 2 Kalitidu. Dengan bacaan keliling non akademik yang di singkat ‘Baling Nona” mampu menjadi daya tarik yang mempesona bagi warga sekolah untuk menghampiri dan mengunjungi apa yang ada didalamnya.
“Baling Nona”
Jika mendengar kata “Baling Nona” akan kah terlintas dipikiran kita nona-nona cantik yang melakukan gerakan berputar seperti baling-baling?. Ooh, tentu tidak! “Baling Nona“ merupakan akronim dari bacaan keliling non akademik.
Dari akronim tersebut bisa di tebak bahwa isi dari bacaan keliling ini adalah hal-hal yang diluar materi pelajaran. Bacaan keliling non akademik yang disingkat “Baling Nona“, ini telah dikembangkan di SMPN 2 Kalitidu sebagai upaya untuk mewujudkan budaya literat di kalangan warga sekolah. Letak sekolah yang berada dipinggiran kota memacu kreatifitas guru untuk menyediakan bacaan sebag aipengisi waktu luang. Baik diwaktu istirahat atau waktu senggang lainnya.
Bahan yang dipakai dalam pembuatan “Baling Nona“ ini pun sederhana, hanya dari kardus bekas. Selain mudah didapat, juga tidak memerlukan biaya yang relative mahal dalam proses pembutannya. Kardus bekas ditutup dengan kertas kado. Salah satu tepinya dihias dengan baling – baling warna-warni. Bagian dalam kardus diisi dengan bacaan-bacaan ringan seperti majalah, bulletin, komik, novel, roman atau bacaan lain yang bersifat non akademik.
Kardus bekas yang tertutup kertas kado dengan baling – baling yang berwarna – warni dimaksudkan untuk menarik perhatian warga sekolah sehingga tergerak menghampirinya. Baling – baling mengandung konotasi bergerak dan berputar. Sehingga baling nona memang didesain mudah untuk dipindahkan. Tidak seperti bangunan perpustakaan yang tetap pada tempatnya dengan berbagai peraturan yang mengikat. Siswa yang menginginkan bacaan ringan harus berada dalam bangunan tersebut dan tidak diperkenankan bergurau, karena mengganggu pembaca lainnya.
“Baling Nona“ sebagai usaha kreatif gerakan literasi sekolah yang lebih fleksibel menjadi pesona tersendiri bagi sekolah pinggiran. Tidak hanya warga sekolah saja yang datang menghampirinya. Tamu – tamu, calon siswa baru, wali murid yang akan mengambil rapot ataupun mengijinkan putra-putrinya menjadi penasaran pada “Baling Nona“ dan tergerak untuk menghampirinya. Ada juga wali murid yang rela berlama-lama dengan bacaan kerajinan tangan yang ada pada “Baling Nona”.
Penempatan “Baling Nona“menyebar dilingkungan sekolah. Dengan demikian mudah dijumpai di pojok sekolah, di teras depan kelas, depan labratorium, pojok green house, gazebo, dll. Bahan kardus bekas yang ringan menjadikan siswa mudah memindahkan kemana pun mereka menginginkannya.
Pada saat istirahat piket “Baling Nona“ mencatat siswa – siswa yang berkeinginan untuk meminjam buku untuk dibawa pulang. Tiap kelas diberikan tugas piket secara bergiliran untuk menjaga “Baling Nona“ agar bacaan yang ada didalamnya tidak mudah hilang.
Sebulan sekali masing – masing kelas diberikan kewajiban untuk menambah koleksi bacaan. Selain itu “Baling Nona“ juga menerima sumbangan dari siapapun berupa buku bacaan atau sumbangan dalam bentuk yang lain. Dengan demikian “Baling Nona“ selain menunjang program literasi sekolah juga dapat menjadi sarana dalam menumbuhkan karakter dermawan dan peduli dikalangan warga sekolah.