Siti Nurhamidah, S.Pd
Guru geografi SMA Negeri 6 Banjarmasin
Korupsi dan segala bentuknya menjadi isu yang selalu hangat dan tren di Indonesia. Fenomena ini sudah merambah di berbagai lembaga, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Korupsi lebih menekankan pada permasalahan politik yang menyentuh keabsahan atau legimitasi pemerintah di mata generasi muda, kaum elit terdidik maupun para pegawai pada umumnya. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2021, Indonesia menempati urutan 96 dari 180 negara. Sedangkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebutkan bahwa indeks perilaku anti korupsi berada pada kisaran 3,33%. Fakta tersebut menjadi sebuah PR besar bagi semua pihak untuk mencegah dan melenyapkan tindakan korupsi di semua kalangan.
Korupsi secara harfiah berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti busuk, rusak, mencuri, mengggoyahkan, memutarbalikkan dan menyogok. Sedangkan definisi korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Pihak yang terlibat dalam hal ini telah melakukan tindakan tidak wajar dan tidak legal karena telah menyalahgunakan kepercayaan publik untuk kepentingan diri sendiri. Suatu tindakan yang mengandung indikator melanggar aturan/hukum, merugikan orang lain, dan untuk kepentingan sendiri/kelompok maka tindakan itu dapat dikategorikan sebuah tindakan korupsi.
Praktik korupsi ternyata tidak hanya terjadi di kalangan pejabat-pejabat negara yang punya spotlight saja, tetapi sudah terjadi di berbagai kalanggan masyarakat, termasuk kalangan pendidikan. Dalam dunia pendidikan seberapa jauh praktik ini berlangsung? Beberapa tindakan yang sering muncul di kalangan murid antara lain membully teman, mengambil sesuatu yang bukan haknya, membolos, masuk kelas terlambat pada pergantian jam, menyontek saat ulangan, kopi paste pekerjaan teman tanpa izin dan sebagainya. Tanpa disadari beberapa tindakan tersebut merupakan cikal bakal perilaku korupsi.
Mengapa korupsi begitu mudah terjadi? Menurut Sarlito, ada dua penyebab tindakan korupsi, dorongan pertama berasal dari internal individu dan dorongan kedua berasal dari eksternal individu. Dorongan internal mencakup sifat selalu merasa kurang, moral lemah, kebutuhan hidup mendesak, gaya hidup konsumtif, malas bekerja atau belajar. Sedangkan dorongan eksternal antara lain mencakup teman, kesempatan, kurang kontrol, dan lain-lain. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5975109/16-faktor-penyebab-korupsi-dari-aspek-individu-hingga-organisasi.
Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di negara kita tidak cukup hanya diberantas dengan cara represif saja melainkan perlu disinergikan dengan cara-cara preventif. Upaya atau tindakan paling tepat adalah dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi sejak dini secara konsisten dan berkesinambungan kepada generasi muda, termasuk siswa sekolah menengah atas. Pendidikan anti korupsi menurut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2018) adalah proses untuk menguatkan sikap anti korupsi dalam diri pesertaa didik, baik siswa maupun mahasiswa. Sikap anti korupsi harus ditanamkan dan diaplikasikan oleh murid dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan anti korupsi dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun nonformal. dan tidak hanya sebagai media transfer pengetahuan (kognitif) namun juga menekankan pada upaya pembentukan moral dan karakter (afektif) dan menumbuhkan kesadaran moral dalam melakukan perlawanan (psikomotorik) terhadap penyimpangan perilaku korupsi (Acep, 2020). Pendidikan anti korupsi dalam konteks ini dimaksudkan untuk membentengi anak-anak dari perilaku koruptif dengan membekali nilai-nilai luhur kepada mereka.
Pelaksanaan Pendidikan anti korupsi di SMA Negeri 6 Banjarmasin antara lain melalui visi-misi sekolah yang tertuang dalam kata “JUARA”. yang merupakan akronim dari kata Jujur, Unggul, Agamis, Rasional, dan Asri. Model penyelenggaraannya melalui pengintegrasian pembelajaran di kelas, kegiatan ekstra kurikuler, dan model Pembudayaan/ Pembiasaan Nilai dalam seluruh aktivitas kehidupan murid.
Contoh penerapan di SMA Negeri 6 ini antara lain sebagai berikut: Pembiasaan berlaku jujur dan integritas dalam setiap aktifitas misalnya belanja di kantin. Pribadi Unggul dapat ditunjukkan melalui prestasi akademik dan non akademik yang telah diraih dalam berbagai bidang. Perilaku agamis misalnya pembiasaan membaca Al-Qur’an atau kitab suci sebelum pelajaran jam pertama. Berpikir dan bertindak rasional antara lain dilaksanakan dalam proses pembelajaran dengan melatih berpikir tingkat tinggi (HOTS). Perilaku asri dapat ditumbuh- kembangkan melalui sikap kepedulian terhadap lingkungan serta terampil dalam menjaga dan mengelola lingkungan yang bersih baik di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah.
Penanaman nilai-nilai anti korupsi sejak dini pada diri murid diyakini dapat membentuk pribadi yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; berkebhinekaan global; bergotong-royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif, seperti yang tercantum dalam 6 dimensi Profil Pelajar Pancasila.