Yogi Setiawan
Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan, budaya literasi dan numerasi masyarakat Indonesia pada tahun 2018 berada diurutan ke-74 dari 79 negara yang disurvei oleh The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD, 2018). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) di New Britain, Connecticut, Amerika Serikat tahun 2016, menempatkan literasi di Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara dalam The World’s Most Literate Nations (Central Connecticut State University, 2017). Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dan numerasi masyarakat Indonesia.
Literasi dan numerasi adalah sebuah konsep penting yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Dalam konteks saat ini, literasi dan numerasi tidak hanya mencangkup pada kemampuan membaca, menulis dan juga berhitung. Namun, literasi dan numerasi dimaknai sebagai kecakapan hidup yang mencakup banyak aspek kehidupan manusia (Fauziyyah et al., 2020; Inten, 2017). Salah satu indikator yang dipergunakan dalam mengukur negara maju adalah dengan melihat tingkat literasi dan juga kehidupan masyarakatnya. Agar dapat berdiri sejajar dengan negara-negara maju, perlu adanya upaya serius dalam meningkatkan literasi dan numerasi bangsa demi menyokong tercapainya kecerdasan kolektif masyarakat Indonesia (Idrus, Tamrin, & Ramli, 2020). Terlebih dalam persaingan konteks global khususnya di bidang pendidikan, literasi dan numerasi dipandang sebagai kebutuhan yang penting dikuasai oleh semua pemangku kepentingan, termasuk di antaranya pemangku kepentingan internal seperti guru, peserta didik, orang tua, dan ekosistem sekolah(Ferianti, 2020; Kusumawardani, 2007).
Salah satu konsentrasi isu global dalam konteks pendidikan literasi dan numerasi adalah adalah membekali anak agar lebih mudah berpartisipasi dan berperan dalam masyarakat. Anak akan belajar untuk mengembangkan kemampuan literasi dan numerasi mereka melalui pengalaman nyata dan tentunya dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk orang tua, guru, dan teman sebaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, keluarga sebagai salah satu pilar pendukung literasi dan numerasi sedapat mungkin menjadi sarana yang kondusif untuk menumbuhkembangkan literasi dan numerasi pada anak-anak (Wasik & Van Horn, 2012).
Ada tiga miskonsepsi terjadi pada peran keluarga dalam perkembangan literasi dan numerasi. Hal ini dikarenakan banyak masyarakat kita yang memandang rendah perkembangan tersebut terjadi dalam keluarga. Tidak bisa di pungkiri bahwa banyak keluarga yang tidak memperhatikan si buah hati nya yang ingin mengembangkan budaya literasi dan numerasi. Berikut gambaran skema miskonsepsi yang terjadi dalam keluarga:
Berikut penjelasan secara lengkap mengenai miskonsepsi literasi dan numerasi keluarga:
Literasi dan numerasi menjadi tanggung jawab sekolah, bukan keluarga
Miskonsepsi yang pertama adalah literasi dan numerasi merupakan tanggung jawab sekolah, bukan keluarga. Hal ini merupakan kesalahan yang terjadi di masyarakat kita terhadap perkembangan si buah hati. Hal yang benar adalah keluarga merupakan unit terkecil untuk mendidik anak agar bisa memahami suatu kejadian agar anak bisa mengembangkan budaya literasi dan numerasi. Kenapa? Keluarga memiliki banyak peran karena keluarga merupakan guru pertama yang mengajarkan anak dalam mengenali sesuatu. Selanjutnya waktu yang di gunakan lebih banyak dari pada sekolah. Waktu yang banyak seharusnya dimanfaatkan keluarga dalam mendidik anak. Kesampingkan ego dalam hal bekerja. Boleh bekerja karena itu kewajiban di sisi itu ada hal lain untuk mendidik anak agar bisa mandiri ke depannya dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Rumah dianggap sebagai tempat tumbuh kembangnya fisik anak semata, bukan sumber pembelajaran perkembangan literasi dan numerasi
Miskonsepsi kedua yakni mengenai tidak potensialnya rumah sebagai sumber pembelajaran literasi dan numerasi. Rumah dianggap sebagai tempat tumbuh kembangnya fisik anak semata, bukan sumber pembelajaran yang sangat berpotensi meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi anak. Rumah sebenarnya adalah lingkungan yang sangat memiliki potensi berperan sebagai pembelajaran literasi dan numerasi. Di lingkungan keluarga bisa diciptakan kegiatan peningkatan literasi dan numerasi seperti menanamkan kebiasaan membaca buku pada anak, mendesain kegiatan membaca bersama, mendemonstrasikan permainan yang bersifat edukatif, seperti scrabble, monopoli, ABC 5 dasar, teka-teki, dan lain sebagainya. Rumah juga bisa dijadikan saranan untuk mengembangkan minat anak untuk menulis surat kepada sahabat, keluarga, atau saudara, menulis ulang kegiatan menyenangkan yang dijalani Bersama keluarga, penyediaan ruangan atau tempat baca yang nyaman di rumah, menceritakan sejarah atau memori keluarga.
Orang tua beranggapan bahwa dengan menggelar jadwal rutin membaca bagi anak- anak mereka, pendidikan literasi dan numerasi telah berjalan dengan benar dan sesuai dengan harapan
Miskonsepsi juga terjadi mengenai implementasi rutinitas literasi di rumah dengan meminta anak rutin membaca untuk durasi waktu tertentu. Setiap hari orang tua menjadwalkan anak untuk membaca bacaan tertentu, terutama bacaan-bacaan yang terkait dengan pelajaran yang dipelajari anak di sekolah ataupun juga bacaan-bacaan ringan seperti komik, majalah, koran, dan lain sebagainya. Orang tua beranggapan bahwa dengan menggelar jadwal rutin membaca bagi anak-anak mereka, pendidikan literasi dan numerasi telah berjalan dengan benar dan sesuai dengan harapan. Padahal, apa yang dicapai oleh anak adalah sebuah kegiatan rutin yang mungkin terkesan membosankan. Terlebih lagi anak mungkin merasa bahwa melakukan kegiatan rutin tersebut semata-mata karena ingin patuh terhadap apa yang disampaikan dan diajarkan oleh orang tua mereka.