logo-color

Publikasi
Artikel Populer

MODEL PEMBELAJARAN MILLENIAL

ALIF MAULANA

ALIF MAULANA

GURU PAI SMP NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang menyangkut sintaksis, sistem sosial, prinsip reaksi dan sistem pendukung. Mudahnya, model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek baik sebelum, saat, dan sesudah melakukan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

Saat kita duduk di bangku perkuliahan, cukup banyak model pembelajaran yang diperkenalkan oleh dosen-dosen pengampu, seperti Discovery Learning, Problem Based Learning, Project Based Learning, Cooperative Learning, Contextual Teaching and Learning, Problem Solving, dan lain sebagainya. Model-model pembelajaran itu pula yang cukup populer diterapkan dalam dunia pendidikan nasional.

Namun apabila kita menengok sejarah, model-model pembelajaran tersebut rata-rata sudah berusia lebih dari setengah abad lamanya. Sebut saja Discovery Learning yang pertama kali dikembangkan oleh Jerome Bruner tahun 1915, Problem Based Learning oleh Barrows dan Tamblyn tahun 1980, Cooperative Learning yang berlandaskan pada teori belajar Vygotsky tahun 1978, atau model pembelajaran Problem Solving yang didasari oleh teori konstruktivisme-nya George Polya yang lahir pada tahun 1887. Tahun-tahun tersebut merupakan bagian dari abad 20, di mana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) belum berkembang pesat seperti abad 21, saat ini.

Kemampuan memanfaatkan, atau bahkan memaksimalkan teknologi merupakan bekal wajib yang seharusnya dimiliki oleh para guru, Terlebih bagi para guru yang lahir menjelang abad 21 atau akrab disebut sebagai Guru Millenial. Teringat atsar dari sahabat mulia Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu tentang pendidikan: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Karena mereka hidup di zaman mereka, bukan zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.”

Atsar tersebut mengindikasikan bahwa setiap pendidik, baik guru yang ada di sekolah maupun orangtua di rumah harus mampu menyesuaikan diri dengan zaman di mana anak-anak berproses. Makna menyesuaikan yang penulis maksud bukanlah berusaha menciptakan model pembelajaran baru untuk mengganti model yang lama, tetapi mengombinasikan model pembelajaran tersebut dengan teknologi yang telah berkembang hari ini.

Saat penulis masih belajar di perguruan tinggi, metode ceramah adalah metode pembelajaran yang seperti dikucilkan pada pendidikan abad 21. Model pembelajaran yang berpusat pada guru atau teacher centris dianggap kuno dan tidak lagi relevan dengan pembelajaran hari ini yang berpusat pada siswa (student centris). Hal ini dirasa cukup aneh, padahal Nabi Saw. mendidik para sahabat, mengubah umat terburuk menjadi sebaik-baik umat, menggunakan metode ceramah. Selepas subuh sampai suruq mereka rutin berkumpul di Masjid Nabawi untuk mendengarkan syiar Islam dari Rasulullah Saw. Bahkan ketika muslimin mencapai puncak kejayaan pada masa Daulah Bani Abbasiyyah, sangat banyak halaqoh-halaqoh di masjid-masjid Kota Baghdad, di mana para santri duduk melingkari sang guru untuk mengambil ilmu darinya.

Pada intinya adalah, model-model pembelajaran yang telah ada tidak perlu diganti dengan yang baru, atau bahkan menganak-tirikan model pembelajaran tradisional, tetapi hanya perlu dikombinasikan dengan teknologi hari ini. Peserta didik jenjang pendidikan dasar dengan tingkatan rata-rata usia 15 tahun pun sebenarnya tidak banyak memiliki keahlian teknologi, selain handphone yang telah diberi embel-embel kata smart. Artinya, guru hanya perlu memanfaatkan smartphone untuk pembelajaran.

Pada akhirnya, kreativitas sangat diperlukan pada pembelajaran masa kini. Guru haruslah menjadi sosok yang diteladani oleh peserta didik karena kita lah yang berdiri di garda terdepan perubahan karakter. Akan menjadi masalah ketika kehadiran kita di dalam kelas justru hanya dianggap sebagai angin lalu atau bahkan sama sekali tidak diharapkan. Bagaimana kita dapat memandu mereka menuju kebaikan jika kita sendiri tidak diinginkan untuk memandu. Karenanya, raih lah terlebih dahulu hati anak-anak, hadirkan keceriaan dan kenyamanan di hati mereka, baru kita bicara keteladanan, ilmu, dan amal sebagai puncaknya. “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi [Muttafaq ‘Alaih].

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I