
Jenni M Siregar
Guru SDN. 173281 Lumbanjulu
Sekolah merupakan tempat pendidikan formal, dan jalur pendidikan yang dibuat secara sistematis, terstruktur, dan berjenjang, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Ciri-ciri pendidikan formal antara lain:
- Diselenggarakan oleh pemerintah melalui sekolah negeri maupun swasta.
- Memiliki legalitas formal, terstruktur melalui manajemen dan administrasi tercatat dan terlapor jelas kepada pemerintah.
- Kegiatan pembelajaran menggunakan kurikulum yang ditentukan Pemerintah dengan materi pembelajarannya bersifat akademis.
- Untuk menjadi peserta didik memiliki persyaratan khusus, tempat belajar berada di gedung sekolah, dengan tenaga pengajar yang memiliki persyaratan khusus, dengan jadwal belajar.
Dalam pendidikan formal sangat dibutuhkan tenaga-tenaga pengajar yang memiliki kemampuan dalam mengajar dan mendidik untuk mengubah, mengarahkan dan memotivasi murid dari segi ilmu pengetahuan juga dalam perbaikan karakter, sehingga pemerintah mencoba segala daya upaya untuk menjadikan kurikulum yang fleksibel.
Di era global dan digitalisasi sekarang ini kepedulian lebih dari seluruh elemen/pihak sekolah terhadap murid sangatlah diharapkan, untuk itu kebijakan sekolah dalam menghadapi segala bentuk kenakalan murid yang makin beragam terutama siswa Sekolah Menengah dimana mereka berada pada fase “masa mencari jati diri” sangat diperlukan.
Penerapan ilmu mendidik, psikologi dan kemasyarakatan dituntut demi ketercapaian tujuan pendidikan. Pendekatan terhadap anak untuk mengetahui latar belakang, dan penyebab penyimpangan yang terjadi. Kesabaran, empati dan keberanian para guru untuk lebih memahami mereka sangat dibutuhkan.
Secara umum orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik di sekolah. Mereka sangat yakin bahwa melalui sekolahlah anaknya akan menjadi anak yang baik dan berguna di masa depan. Apalagi ketika mereka diperhadapkan dengan anak yang susah diatur dan mereka merasa tak mampu lagi mengubahnya. Jalan satu-satunya yang mereka harapkan adalah guru dengan keprofesionalannya. Akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak guru yang bukan pendidik, mereka lebih mengutamakan mengajar dan menyelesaikan program. Kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan murid dianggap tanggung jawab penuh orang tua, sehingga setiap adanya pelanggaran pihak sekolah merasa, cukup memberikan SP (surat panggilan) buat orang tua siswa, yang seolah-olah hanya mencari pembenaran supaya pihak sekolah suatu saat tidak disalahkan atas tindakan apapun yang diberikan pihak sekolah terhadap si anak yang bermasalah seperti: mengeluarkan siswa, memberi skorsing, dan lainnya.
Mengajar dan mendidik dua hal yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain di Sekolah. Karena itulah sekolah sangat membutuhkan guru-guru profesional yang diharapkan mampu:
- mengubah murid menjadi lebih baik dalam hal berfikir dan bertindak.
- mentransfer ilmunya bagi murid.
- menjadi orangtua ke dua, sehingga jadi contoh dan panutan buat murid-muridnya berkarakter dan berakhlak mulia.
- menjadi sahabat baik yang dapat memotivasi, menuntun dan mengarahkan mereka sesuai bakat dan minat, sehingga memiliki kualitas tinggi dalam kehidupannya di masyarakat.
- mengubah mindset murid ke arah yang lebih maju dan lebih positif agar sanggup menghadapi zamannya dengan rasa senang dan bahagia.
Membuat SP yang berulang bukanlah penyelesaian yang tepat bagi murid bermasalah, karena dalam hati mereka akan tersimpan “dapat SP masalah selesai” apalagi dengan kesibukan orang tua sekarang ini, mereka akan datang segera ke sekolah sendiri maupun perwakilan dengan harapan anaknya tetap bisa sekolah. Perjanjian yang ditulis di depan guru dan orangtua bukanlah jaminan buat siswa untuk tidak mengulangi kesalahan atau membuat kesalahan lain, karena mereka belumlah bisa bertanggung jawab penuh atas apa yang mereka lakukan/katakan.
Untuk menghadapi murid-murid bermasalah di sekolah alangkah baiknya jika pihak sekolah lebih memahami siswanya terlebih dahulu sebelum langsung memberikan SP. Mereka secara umum butuh diperhatikan sehingga saat ada sedikit saja celah tindakan mereka akan mengarah pada hal-hal negatif, seperti: merokok, berjudi, membully bahkan tawuran. Mereka bukanlah anak-anak yang bodoh tapi anak yang kurang perhatian dan kurang arahan dari orang yang tepat.
Jika kita telusuri, penyebabnya justru dari tindakan orang dewasa di sekitarnya bahkan bukan tidak mungkin oleh guru. Seorang anak yang punya waktu berjudi di kelas, merokok, membuli atau lainnya saat free les, misalnya, hal itu mereka lakukan karena pihak sekolah memberi celah. Bukankah lebih baik jika mereka diberdayakan? Diberi kegiatan yang positif seperti memperbaiki taman, membersihkan pekarangan, atau bila perlu turun ke jalan untuk memberi contoh buat masyarakat dalam membuang sampah yang benar misalnya.
Secara umum anak lebih menghargai, mendengarkan dan lebih patuh kepada gurunya dibandingkan kepada orang tuanya sendiri. Senakal-nakalnya murid rasa hormat dan segan kepada guru itu masih ada. Karena itulah setiap pendidik dituntut untuk dapat lebih dekat dengan muridnya agar setiap pelanggaran bisa di selesaikan dengan benar tanpa merugikan siapapun.