logo-color

Publikasi
Artikel Populer

MATEMATIKA ITU DEKAT DENGAN BUDAYA

Meilysa Ajeng Kartika P.

Meilysa Ajeng Kartika P.

Matematika selalu menjadi juara yang masuk dalam kategori mata pelajaran yang paling tidak disukai oleh peserta didik. Memang tidak semua peserta didik membenci matematika, akan tetapi persentase peserta didik yang tidak menyukai matematika di kelas, tentunya lebih banyak dari pada peserta didik yang gemar dengan matematika. Mereka yang tidak menyukai matematika, menganggap bahwa mata pelajaran ini terlalu menguras pikiran dan energi. Padahal tanpa kita sadari, matematika sering kali digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalkan dalam mengukur, menghitung, membilang, melakukan aktivitas jual beli dan lain sebagainya. Oleh karena itu, matematika sering diagungkan dengan menyatakan bahwa matematika adalah ratu dan pelayan ilmu (mathematics is the queen and servant of science). Maksudnya matematika selain sebagai pondasi bagi ilmu pengetahuan, matematika juga sebagai pembantu bagi ilmu pengetahuan yang lain, khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.

Sesungguhnya matematika telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Bahkan matematika juga dapat ditemui dan ada kaitan yang sangat erat dengan budaya. Definisi dari budaya sendiri adalah olah rasa, karya, karsa, dan cipta manusia. Kombinasi antara matematika dan budaya telah bersinergi dalam kehidupan masyarakat, di mana telah diterapkan konsep matematika yang berkaitan dengan aljabar terkait mengelompokkan, berhitung, mengukur, dan lain-lain. Lantas seperti apa kedekatan matematika dan budaya?

Budaya yang akan dipaparkan di sini, yaitu budaya dari salah satu kota “The sunrise of Java”. Salah satu ikon budaya yang terkenal dari kota “The sunrise of Java” adalah Gandrung. Busana tubuh yang dikenakan penari gandrung terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Adapun yang dikenakan di bagian kepala, disebut dengan omprok. Omprok gandrung ini merupakan lambang kesucian diri dari penari gandrung. Bahan utama omprok adalah kulit sapi yang dikeringkan. Kulit tersebut kemudian dibersihkan dan kemudian dipahat dengan ukiran khas Banyuwangi. Selanjutnya, kulit tersebut dicat dengan warna keemasan, merah, dan hitam. Selain itu dilengkapi dengan kembang goyang di atas omprok yang terbuat dari besi yang dicat dengan warna keemasan. Omprok gandrung banyuwangi ini ada dua jenis, ada omprok gandrung generasi lama dan generasi baru. Harga Omprok gandrung generasi lama tentunya lebih mahal dibandingkan dengan omprok gandrung generasi baru.

Pengrajin omprok tentunya menganggarkan budget untuk omprok yang akan dijualnya agar mendapatkan keuntungan maksimum. Begitu juga dengan pembeli omprok, biasanya pemilik sanggar tari, membeli tidak hanya satu omprok, akan tetapi beberapa omprok yang terdiri dari omprok generasi lama dan baru, tentunya hal ini membutuhkan kalkulasi matematika di dalamnya untuk menentukan berapa banyak omprok yang dibeli ketika memiliki uang yang terbatas. Tidak hanya itu, terkadang pusat penjualan perlengkapan gandrung, menjual paket hemat, ekonomis, dan murah untuk menarik minat pembeli. Hal ini juga diperlukan kalkulasi matematika, apakah dengan membeli paket tersebut pembeli dapat  harga seminimum mungkin dan juga dengan adanya paket tersebut, penjual masih meraup keuntungan. Permasalahan tersebut berkaitan dengan matematika yang ada di sekolah, baik dari materi aritmetika sosial, sistem persamaan dan pertidaksamaan linear hingga program linear. Dengan diintegrasikannya budaya ke dalam matematika sekolah, hal ini akan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna, mudah dipelajari dan menyenangkan karena sesuai dengan yang terjadi pada komunitas budaya.

 

Sumber Artikel

Ardhana, W. A. (2018). Perkembangan Bentuk dan Makna Motif Omprog Gandrung Banyuwangi. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Nasryah, C. E., & Rahman, A. A. (2020). Ethnomathematics (Matematika dalam Perspektif Budaya). Sidoarjo: Uwais Inspirasi Indonesia.

Sanja, A. T., & Prihastanto, A. R. (2021). Bertumpu pada Kata, Merengkuh Cakrawala: Jejak Pustaka: Yogyakarta: Jejak Pustaka.

 

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I