logo-color

Publikasi
Artikel Populer

GERAKAN LITERASI, GERAKAN SETENGAH HATI? (SEBUAH PERSOALAN EFISIENSI LITERASI DIGITAL DI MASA PANDEMI)

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti melalui pelaksanaan berbagai kegiatan rutin di sekolah, tercantum kewajiban sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan literasi sekolah (GLS). Sejak itu, gerakan literasi terus digaungkan hingga ke seluruh pelosok tanah air. Semua elemen di lingkungan pendidikan dan lembaga masyarakat yang berkaitan diharapkan dapat bersinergi dalam mendukung cita-cita mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini.

Upaya yang sistematis dan terprogram telah dirancang untuk menyukseskan GLS. Namun, apakah gerakan ini sudah cukup signifikan meningkatkan minat baca  siswa? Apakah  bangsa ini telah mampu mengatasi persoalan besar terhadap rendahnya minat baca yang sangat memengaruhi keberlangsungan bangsa ini? Apakah negara ini memiliki kesadaran tentang literasi dengan baik agar masyarakatnya lebih mudah diajak untuk memajukan negaranya? Jawaban semua pertanyaan ini tergantung kepada seberapa besar kesungguhan bangsa ini dalam meningkatkan minat baca.

Dalam beberapa temuan, gerakan literasi dilaksanakan dengan setengah hati, mengapa demikian? GLS bukanlah gerakan serta merta dalam beberapa tahun ini. Gerakan membaca sudah sering didengungkan dan disosialisasikan namun anaknya belum menunjukkan perubahan dalam perilaku belajar peserta didik. Di lapangan, gerakan literasi tidak semulus yang diharapkan. Beberapa kendala menunjukkan gerakan ini terkesan “booming” hanya sekejap ketika sosialisasi gencar dilaksanakan. Beberapa saat kemudian redup dan aktivitas minat baca kembali “remang- remang” bahkan tidak menutup kemungkinan kembali tenggelam. Jika ada yang masih semangat untuk berliterasi pada dasarnya karena memang sedari awal peserta didik yang suka membaca.

Dilema Literasi di Masa Pandemi

Kebijakan pemerintah menerapkan pembelajaran daring sebagai antisipasi penularan COVID-19 merupakan keputusan yang harus dilaksanakan. Konsekuensi dari kebijakan itu, peserta didik belajar dengan menggunakan HP (internet) sebagai media pembelajaran sekaligus diharapkan dapat menjangkau banyak informasi yang dibutuhkan siswa sebagai sumber belajar. Seyogyanya, alat komunikasi itu mempermudah peserta didik untuk mencari dan mengolah informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas dari guru. Namun, walaupun sumber belajar mudah ditemukan peserta didik masih mengeluh gagal mengerti dengan materi dan tugas yang diberikan secara daring. Kondisi ini semakin dramatis dengan “teriakan” orang tua karena tak sanggup menggantikan posisi guru “ngemong” anaknya belajar di rumah.

Pembelajaran secara daring di masa pandemi memang sebuah dilema. Masyarakat belajar kehilangan roh belajar, semangat dan motivasi, perhatian dan kasih sayang yang dikenal dengan istilah learning lost. Learning lost adalah kehilangan kemampuan dari pengalaman belajar pada siswa. Separuh siswa tidak memenuhi standar kompetensi berdasarkan asesmen diagnostik yang  dilakukan. “Learning lost tanda-tandanya sudah mulai tampak, meskipun itu baru hasil guru berdasarkan asesmen diagnostik”, kata kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dari Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno dalam rapat dengar Pendapat Umum (RDPU) komisi X DPR, Kamis (21/1). Contoh nyata learning lost ini bisa dilihat pada kemampuan anak membaca dan berhitung.

Hilangnya kemampuan membaca terindikasi dengan turunnya minat baca sehingga berpengaruh terhadap pemahaman dalam belajar. Kondisi ini menjadi alasan bagi peserta didik yang kehilangan gairah belajar dengan mencari-cari pembenaran; tidak akan mengerti kalau tidak diajarkan guru. Akar permasalahan ini adalah ketidakmandirian dalam belajar yang disebabkan karena kurangnya kesadaran untuk belajar sendiri dengan mencari berbagai sumber melalui teknologi yang mereka miliki. Peserta didik “kurang haus” untuk berliterasi tentang hal-hal yang berbau ilmu pengetahuan karena dianggap akan menguras pikiran. Mereka lebih nyaman membuka konten-konten yang membuat hidup lebih “santuy” dan otak tidak harus berpikir keras.

Literasi Digital di Masa Pandemi, Sudah Efektifkah?

Literasi digital salah satu bentuk program GLS sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik agar menjadi pembelajar sepanjang hayat dan membudayakan ekosistem literasi di mana pun lingkungannya. Keberadaan literasi digital dipastikan dapat memudahkan peserta didik berselancar menjelajahi informasi sebanyak-banyaknya. Penggunaan literasi digital diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup, menambah wawasan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik sehingga berpengaruh pada pola pikir dan perilakunya dalam menghadapi perkembangan zaman.

Kegiatan literasi digital melibatkan sekolah, siswa, guru, tenaga pendidikan, dan kepala sekolah yang diharapkan dapat mengakses, memahami, serta menggunakan media digital, alat-alat komunikasi dan jaringnya. Namun, apakah pembelajaran secara daring telah memanfaatkan literasi digital sebagai sumber belajar yang efektif dan efisien? Apakah sekolah sudah dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga peserta didik menjadi manusia yang memiliki wawasan luas dan haus ilmu pengetahuan?

Dengan literasi digital, seyogyanya para guru semakin mudah dalam menyajikan bahan yang lebih variatif. Para  peserta didik dapat memiliki pengalaman belajar yang lebih luas terhadap bahan ajar yang disampaikan. Membaca dengan media digital dapat menjadi pembiasaan positif sebagai ruang belajar yang menyenangkan sehingga warga belajar menjadi mandiri untuk mengelola pengetahuan dan memanfaatkannya dalam kehidupan.

Menurut Harvey J. Graff literasi digital merupakan kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. kemampuan literasi ini akan memberi keuntungan bagi individu sehingga memiliki wawasan yang luas. Sementara itu, menurut Devri Suherdi (2021) dalam bukunya menjelaskan literasi digital di masa pandemi merupakan pengetahuan dan kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital seperti alat komunikasi. Kecakapan ini mencakup kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkan dengan bijak, cerdas, cermat tepat sesuai kegunaannya melalui jaringan internet.

Hasil survei menunjukkan, selama belajar daring peserta didik menghabiskan waktu 1-2 jam untuk mengerjakan tugas-tugas dari satu mata pelajaran. Selebihnya, digunakan untuk membuka konten-konten hiburan seperti; musik, TikTok, YouTube, dan lain-lain yang menyita waktu hingga larut malam. Alasannya, merasa tertekan karena efek pandemi dan belajar daring yang menjenuhkan. Beberapa pelajar bangsa ini terlalu manja dan terlanjur terobsesi untuk hidup senang tanpa beban. Bagi mereka, tugas-tugas sekolah sudah cukup memberatkan apalagi jika harus menambah kualitas dengan kegiatan literasi atau mengikuti proses pembelajaran yang menuntut kreativitas. Tuntutan kegiatan pembelajaran ini dianggap dapat menyita waktu untuk bersenang-senang.

Sebuah pengalaman ketika PTM dilaksanakan dan penulis mencoba menanyakan beberapa informasi tentang materi yang telah diajarkan selama daring, hanya 1-2 siswa yang bisa menjawab dengan benar, selebihnya planga-plongo dan blank!. Namun, ketika ditanyakan berapa mahar yang diberikan Rizky Billar untuk Lesti atau kehidupan artis lainya, mereka menjawab dengan penuh semangat tanpa harus plonga-plongo. Luar biasa, bukan? Dengan demikian dapat disimpulkan, minat baca peserta didik melalui literasi digital selama belajar daring rendah. Kesadaran menemukan informasi/pengetahuan yang berkualitas dan berkaitan dengan materi belajar masih sangat rendah.

Sudah Literasikah Para Guru?

Peran guru dalam memaksimalkan GLS adalah untuk memberi kesadaran dan pembiasaan kepada peserta didik akan kebutuhan informasi untuk diri sendiri, dan memiliki karakter untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini sangat penting, melihat pengaruh yang mereka miliki terhadap semangat siswa. Guru sebagai motivator dalam membangkitkan semangat literasi adalah guru yang memiliki latar belakang senang membaca dan menulis. Kesadaran membaca yang rendah dari seorang pendidik tentu akan berdampak bagi peserta didik. Pendidik yang tidak gemar membaca tidak akan mampu memaksimalkan minat baca peserta didik dan merasa terbeban melaksanakan GLS.

GLS setengah hati disebabkan kurangnya kesadaran warga sekolah terhadap pentingnya kemampuan literasi, termasuk literasi digital dalam kehidupan mereka. Kegiatan membaca masih terbatas pada pembacaan buku teks pelajaran dan belum melibatkan jenis bacaan lain. Di masa pandemi literasi digital tidak menjadi efisien karena siswa terkesan “pelit” untuk membaca berbagai informasi yang berupa pengetahuan. Sebagai renungan, warga sekolah harus konsisten melaksanakan GLS dengan sepenuh hati. Kita, sebagai pendidik memiliki tanggung jawab moral kepada bangsa dan Tuhannya. Maka, mengabdilah dengan sepenuh hati!

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I