logo-color

Publikasi
Artikel Populer

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Angga Sri Prasetyo, S.S, M.Si

Angga Sri Prasetyo, S.S, M.Si

SMP Pahoa, Tangerang Selatan
johnpras10@gmail.com

Kemajuan suatu bangsa tergantung dari bagaimana bangsa tersebut menyiapkan generasi muda mereka. Oleh karenanya, pendidikan bagi generasi muda memainkan peranan penting untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas, baik secara jasmani maupun rohani. Melalui pendidikan, generasi muda bangsa ditanamkan nilai-nilai moral dan budaya, sehingga mereka kelak menjadi manusia yang berbudaya. Ironisnya, dunia pendidikan kita tak luput dari fenomena kekerasan. Sampai saat ini, masih ada begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan.

Maraknya kekerasan di dalam dunia pendidikan ini terjadi, bukan hanya antar peserta didik, tapi juga antara guru dan peserta didik, bahkan ada juga yang melibatkan orang tua murid. Tawuran, kekerasan seksual dan bullying hanya beberapa contoh kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan. Masih banyak lagi bentuk kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan dan penting bagi kita untuk memahami tipologi dari kekerasan-kekerasan tersebut.

Johan Galtung membagi kekerasan ke dalam tiga tipe, yakni; 1) Kekerasan langsung; yaitu kekerasan yang bersifat langsung di mana pelaku melakukan kekerasan kepada korban; 2) Kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang terbangun melalui struktur yang bersifat menghalangi kebutuhan dasar manusia untuk mencapai kesejahteraan  dan kebebasan seperti hak memperoleh pendidikan. Kekerasan struktural tampak dalam struktur, sistem, konteks; contohnya ialah adanya perilaku diskriminatif, baik itu di dalam sekolah, pekerjaan dan masyarakat; 3) Kekerasan kultural, yaitu aspek-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia seperti agama, bahasa, seni dan ilmu pengetahuan yang bisa dipergunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan; misalnya sikap intoleransi, rasis, dsb. Kekerasan budaya bisa menjadi motor yang menggerakkan munculnya kekerasan struktural dan langsung. Dengan kata lain, kekerasan struktural dan langsung dapat dikatakan sebagai pengejawantahan (bentuk) dari kekerasan kultural itu sendiri. Dari sini kita dapat melihat bahwa bentuk kekerasan itu sendiri dapat dilihat secara langsung maupun secara simbolik, namun dengan efek yang sama, yakni merugikan korban kekerasan.

Bagaimana fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan dapat terjadi? Dalam hal ini ada beberapa pandangan yang membahas perihal penyebab terjadinya kekerasan di dalam dunia pendidikan; Pertama, fenomena kekerasan di dalam pendidikan terjadi oleh karena tidak adanya keterkaitan yang selaras antara lembaga-lembaga kemasyarakatan, yakni keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah. Selain itu lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut mengalami disfungsi, sehingga terjadi krisis moral dan perilaku menyimpang.

Kedua, dalam keseharian, masyarakat kita tampak akrab dengan kekerasan. Tak jarang kita temui, dalam setiap penyelesaian konflik, selalu saja disertai dengan kekerasan. Ada begitu banyak alasan yang menyertai hanya untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Namun demikian, kekerasan tetaplah kekerasan, yang dapat memberikan efek buruk bagi korban. Bukan tidak mungkin, kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat, terbawa pula hingga ke dalam lingkungan sekolah. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kekerasan yang terjadi di dalam sekolah merupakan ‘buah’ konstruksi sosial atas kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.

Ketiga, fenomena kekerasan di dalam sekolah merupakan dampak dari dehumanisasi pendidikan yang disebabkan oleh proses alienasi dan dominasi. Alienasi dan dominasi ini dapat dilihat dalam konteks guru dan peserta didik; dan konteks yang lebih luas yakni kekuasaan dan sekolah. Ada beberapa bentuk kekerasan yang berakar pada dominasi di dalam dunia pendidikan; 1) Kekerasan kurikulum. Melalui kurikulum, tampak dominasi penguasa (pemerintah) atas sekolah (guru dan peserta didik). Kurikulum dibuat sebagai sarana transfer ideologi penguasa dan mempertahankan status quo. 2) Kekerasan metode. Kurikulum yang diberikan pemerintah menuntut para guru untuk menyampaikannya kepada peserta didik dengan metode yang sudah diberikan. Tuntutan yang besar terhadap para guru, berdampak pada tuntutan yang besar pula terhadap peserta didik. 3) Kekerasan model pembelajaran. Kekerasan ini menunjuk pada dominasi guru dalam proses mengajar. Pendidikan “gaya bank” masih melihat peserta didik seperti tabung kosong yang tidak tahu apa-apa. Potensi, nalar kritis peserta didik diabaikan. Peserta didik mengalami alienasi sebagai individu. 4) Kekerasan orientasi. Orientasi pendidikan yang mengarah pada tuntutan pasar, ekonomi dan sistem kapitalis, membuat pendidikan itu sendiri kehilangan maknanya. 5) Kekerasan dalam sistem akreditasi. Sistem akreditasi merupakan bentuk dominasi dan pengawasan penguasa akan sistem pendidikan yang ada. Hal ini membuat sekolah hanya berfokus untuk mendapatkan ‘nilai’ yang baik dan prestise bagi sekolah mereka, namun mengabaikan peserta didik. Peserta didik dituntut untuk memperoleh nilai yang baik, yang pada akhirnya demi kepentingan sekolah, bukan peserta didik.

Berbagai macam kekerasan di dalam dunia pendidikan seakan telah membuat lingkaran kekerasan atas nama kekuasaan. Dalam hal ini, peserta didik menjadi korban; di mana mereka sungguh mengalami frustrasi, sehingga banyak melakukan tindakan menyimpangan sebagai bentuk pemberontakan mereka terhadap kekerasan yang mereka alami. Persis di sini, lingkaran kekerasan terjadi, di mana dominasi penuh muslihat sebagai akarnya. Maka, pendidikan harus dikembalikan ke tujuan semula yakni sebagai proses memanusiakan manusia. Dalam hal ini pendidikan humanis yang lebih menitik beratkan pada nilai-nilai kemanusian peserta didik menjadi suatu yang penting.

Bagaimana membongkar kultur kekerasan di sekolah? Pola perilaku setiap anggota komunitas sekolah sangat bergantung pada pembiasaan sistemik yang dilakukan di sekolah. Pembiasaan sistemik ini harus didukung oleh suatu nilai anti-kekerasan yang menjadi fondasi untuk menciptakan sekolah yang damai. Dalam hal ini, budaya sekolah memiliki peran penting dalam proses pembiasaan sistemik tersebut. Oleh karenanya dalam budaya sekolah tersebut, harus tertanam nilai anti-kekerasan guna menciptakan sekolah yang damai.

Hal lain yang paling penting ialah pendidikan harus dikembalikan kepada fitrahnya, yakni sebagai proses memanusiakan manusia agar generasi muda sungguh menjadi generasi yang manusiawi. Melalui pendidikan yang humanis, anak-anak dibantu untuk membangun power-with, kekuatan bersama, agar mereka sungguh membangun solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama.

Melalui pendidikan yang humanis, anak-anak diajak untuk membangun caring society, suatu komunitas persaudaraan yang memperhatikan kepentingan semua pihak. Kemudian, melalui pendidikan yang humanis, anak-anak diajak untuk membangun power within, yaitu kekuatan spiritual yang ada dalam diri mereka. Power-within  itulah yang membuat manusia lebih manusiawi, karena di sana dibangun harga diri manusia dan penghargaan terhadap martabat manusia dan nilai-nilai yang mengalir dari martabat itu.

Penting bagi generasi muda kita juga untuk mendapatkan pendidikan humaniora sebagai sarana menghumanisasikan pengajaran. Humaniora di sini dimaksudkan dalam dua arti, 1) Sekumpulan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti filsafat, sejarah, ilmu-ilmu bahasa; 2) Cara pengajaran yang mencoba mengangkat unsur-unsur pemanusiaan dalam pengajaran.

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I