logo-color

Publikasi
Artikel Populer

PERNIKAHAN DINI… SIAPA YANG SALAH ??

Eni Subiastutik, M.Sc.

Eni Subiastutik, M.Sc.

Poltekkes Kemenkes Malang
enisubiastutik@gmail.com

Pernikahan dini sering kita dengar dalam kehidupan masyarakat pinggiran atau pedesaan, yang berarti anak gadis menikah pada usia belum cukup umur atau kurang dari 19 tahun. Banyak alasan yang bisa kita dengar dari masyarakat mengapa sebagian orangtua justru senang dan bangga jika anak gadisnya cepat dipinang. Kedengarannya seperti jaman Siti Nurbaya yang mana jika seorang gadis sudah mengalami haid berarti dia sudah cukup dewasa dan siap menikah/dinikahkan.

Menurut data KUA kabupaten Jember pada akhir tahun 2022 sekitar 1.364. orang tua yang mengajukan dispensasi menikahkan anaknya yang masih dibawah umur. Angka terbanyak ada di wilayah Jember Lor, khususnya Kecamatan Ledokombo. Hal ini membuat banyak pihak pusing, bagaimana tidak jika pernikahan dibatalkan atau ditunda ternyata banyak pasangan anak muda tersebut sudah pernah melakukan hubungan seksual, bahkan beberapa dari mereka ada yang sudah hamil. Hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan pihak KUA untuk mengesahkan pernikahan walaupun pasangan tersebut masih dibawah umur. Bahkan ada beberapa orangtua yang memalsukan dokumentasi anaknya terkait umur, demi mendapatkan dispensasi tersebut.

Miris….. inilah fakta ada ada di sekeliling kita. Masyarakat di daerah pedesaan dengan segala keterbatasan yaitu pendidikan rendah, sosial ekonomi rendah, pekerjaan yang rata-rata sebagai buruh tani, kuli bangunan, tukang ojek, pastinya hal ini menjadi persoalan yang sulit terurai. Dengan menikahkan anak, segera beban orangtua menjadi lebih ringan, karena anak akan menjadi tanggungan suaminya. Namun tidak demikian halnya, karena dengan pernikahan dini mental anak tidak siap memasuki dunia baru dan peran baru, dengan demikian masalah barupun terjadi antara lain percekcokan, KDRT, perceraian. Gizi ibu hamil yang buruk (KEK), AKI tinggi dan stunting pada anak. Masih berkembangnya mitos banyak anak banyak rejeki, anak gadis yang cepat laku/nikah itu rejeki, rejeki jangan ditolak, dan masih banyak lagi. Pemikiran masyarakat yang masih primitive/kolot karena masih rendahnya pendidikan orang tua, keterbatasan pergaulan, keterbatasan informasi yang didapat akan mempengaruhi cara berfikir mereka. Orangtua hanya mengandalkan pengalaman pribadi, dan budaya yang dianutnya. Menurut mereka jika mempunyai anak gadis tidak segera menikah akan mendapat label “ Perawan Tua”, ada juga yang berpendapat anak gadisnya mendapat “ Sangkal” dan harus dilakukan ruwatan.

Banyak program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat sampai daerah, namun implementasinya masih banyak teori dan sebatas kebijakan. Konsistensi pihak-pihak terkait untuk secara terprogram terjun ke lapangan, memberi edukasi langsung, meningkatkan pemberdayaan pada kaum perempuan masih sangat kurang. Program yang sudah ada antara lain PIK-R, Forum Anak Jember (FAJ ), Insan GenRe namun masih jalan di tempat. Kabid DP3AKB Jember, Joko Purwadi mengatakan bahwa angka perkawinan anak harus diturunkan dengan membuat deklarasi Bersama “Zero Perkawinan Anak”. Namun demikian banyak pertanyaan yang terlontar, “siapa yang salah…?” dan peran DP3AKB dipertanyakan “ngapain saja selama ini…?.

Untuk program PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) dan GenRe (Generasi Berencana), yaitu program yang digagas BKKN dalam rangka menjembatani masalah-masalah yang dialami remaja, baik tentang kesehatan reproduksi maupun psikologi. Masa remaja merupakan masa yang penuh problematika, sehingga dengan adanya wadah yang dikelola dari, oleh , dan untuk remaja, mereka akan mendapatkan pendampingan dan solusi yang positif akan masalah yang dihadapi. Namun demikian tidak semua sekolah ada wadah PIK-R yang bisa masuk sub organisasi OSIS. Hanya beberapa sekolah saja yang bersinergi dengan sekolah Kesehatan atau dekat dengan kantor BKKBN yang terjakau, yang mengembangkan program tersebut.

Sebagai pemerhati kaum perempuan dan remaja, masalah pernikahan dini atau dibawah umur adalah masalah kita semua. Melakukan aksi nyata melalui edukasi langsung, menggandeng pihak sekolah, kader, tokoh masyarakat, orangtua dengan menyekolahkan anaknya minimal pada jenjang sekolah menengah atas, membuka lahan pelatihan bagi anak-anak yang sudah tidak sekolah sembari meningkatkan pemberdayaan sehingga meningkatkan ekonomi dan taraf penghasilan. Bersama bergandengan tangan dari berbagai pihak dan aksi nyata, angka pernikahan dini diharapkan dapat menurun drastis. Sesuai Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, batas minimal usia menikah adalah 19 tahun. Generasi emas adalah generasi cerdas dan berkarya, mari kita sukseskan program- program melalui aksi nyata. Mengaktifkan lagi program – program yang sudah ada dimulai dari jenjang pendidikan SMP, SMA, SMK, Karang Taruna, Remas.

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I