logo-color

Publikasi
Artikel Populer

ROLE PLAYING YESS!! MENGASAH PRIBADI YANG UNGGUL DENGAN TATA KRAMA, SANTUN DAN MALU

Siti Alfiyah, S.Ag., M.Pd.

Siti Alfiyah, S.Ag., M.Pd.

Guru PAI SMPN 3 Comal Pemalang

Memasuki semester genap, mengajar kelas IX seakan berlomba dengan waktu. Karena materi PAI-PB yang mencakup enam KD harus terselesaikan selama tiga bulan (Januari – Maret). Teringat pepapah Jawa, “Guru Ora Kurang Lakon” yang artinya Guru Tidak Kurang Strategi, ini yang membuat guru harus berstrategi keras, agar semua materi tersampaikan tentu bukan dengan asal namun dengan maksimal. Sebagaimana saat menemukan materi  “Tata Krama Santun dan Malu”, pastilah guru agama punya perasaan yang sama. Yakni berkeinginan agar menyampaikan materi ini dengan tujuan agar pembelajaran lebih berkesan bagi siswanya. Mengingat materi ini meskipun peserta didik sudah  mempraktekkan dalam kesehariannya, dan termasuk materi yang mudah dipandang dari sisi Kreteria Ketercapaian Minimum.

Dengan argumen tersebut, penulis memilih model pembelajaran role playing dalam menyampaikan materi tata krama, satun dan malu. Di samping untuk memenuhi salah satu gaya belajar, yakni gaya kinestetik (proses bembelajaran yang mengandalkan sentuhan atau rasa untuk menerima informasi dan pengetahuan). Jika ditinjau dari sejarah model role playing ini dipelopori George Shaftel (Uno, 2011:25), bahwa model ini pertama dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa metode role playing dapat mendorong siswa mengekpresikan perasaannya. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis. 

Selanjutnya melahirkan pendapat dari oleh Mulyatiningsih (2011:236) menjelaskan bahwa metode role playing atau bermain peran dalam penerapannya dilakukan dengan cara mengajak siswa untuk menirukan suatu aktivitas di luar atau mendramatisasikan situasi, ide, maupun suatu karakter tertentu. Sedangkan Hamdani (2011:87) menjelaskan pembelajaran role playing yakni suatu metode menguasai suatu materi-materi pelajaran dengan mengembangkan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Adapun pengalaman yang diperoleh dari metode ini meliputi kemampuan bekerja sama, komunikatif, dan menginterpretasikan suatu kejadian melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memeragakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai dan berbagai strategi pemecahan (Hamdayana, 2014:190).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis menggunakan model role playing dengan tahapan sebagai berikut. Pertama, pertemuan dua jam pelajaran menggunakan metode ceramah dan tanya jawab materi tata krama, santun dan malu yang meliputi pengertian, dalil, contoh sikap dan manfaatnya. Kedua, diakhir pertemuan pertama, guru sudah membagi 4 kelompok besar yan terdiri dari delapan siswa perkelompoknya.  Ketiga  guru sudah menyiapkan beberapa tema yang akan diperankan oleh siswa secara berkelompok tersebut. Yaitu memerankan sosiodrama dengan tema: (1) Tata krama di masyarakat; (2) Santun di lingkungan keluarga; (3) Malu di masyarakat (4) Malu di lingkungan sekolah; dan (5) Tata Krama di sekolah. Perwakilan tiap kelomponya untuk maju mengambil tema yang tertutup, dan menyisakan satu tema. Para siswa kelas IX sudah mampu untuk menuliskan skenario, yang tentu dengan didiskusikan dengan teman sekelompoknya. Dan dari teman sekelompoknya, salah satu teman ada yang menjadi pembaca skenario, mulai dari mengenalkan masing-masing temannya beserta peran/tokohnya. Pertemuan yang kedua, satu jam pelajaran para siswa siap bermain peran, masing-masing kelompok secara bergantian untuk unjuk perannya. Yang sebelumnya guru memberikan motivasi dan semangat bahwa kalian harus berani untuk tampil, karena hanya orang-orang yang pemberanilah yang mencapai kesuksesan. Dan untuk pemeran antagonis, jangan berkecil hati justru nilainya semakin bagus jika mampu berperan secara maksimal. Sebelum action untuk bermain peran, siswa sudah terlihat antusias mendiskusikan skenarionya, dan saat bermain peran sangat ingin tampil secara maksimal. Padahal diberikan kesempatan untuk tampil dua kali, menginginkan untuk diulang kembali. Dan saat tampilan siswa ada yang kurang menghayati, sehingga harus di cut untuk mengulang kembali, maka siswa dengan senang hati dan memperbaiki penampilannya. Ada juga ingin bermain peran di luar kelas atau lapangan. Bahkan siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik (yang sehariannya tidak betah duduk di bangku kelas) menjadi pengarah peran dan gaya bagi teman kelompoknya. Inilah yang saat melakukan refleksi usai penampilannya, kompak bilang role playing yess!!!

Meskipun penulis sadar, tidak ada model pembelajaran yang sempurna. Memakan banyak waktu dan sempat menjadi perhatian siswa lain saat memerankan di pintu kelas masuk kelas terlambat. Dan seringnya kelas lain terganggu karena tepuk tangan para siswa setelah usai performance-nya. Sedangkan kelebihannya semua siswa terlibat, siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh, permainan merupakan penemuan yang mudah termasuk materi tata krama, santun dan malu dan permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan.

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I