Izatul Laela, S.Si
Pendidik SMPN 2 Wonorejo
Kita mungkin pernah melihat sebuah tayangan video yang mengilustrasikan tentang kondisi sekolah. Digambarkan dengan sekolah para binatang yang memiliki kurikulum sama seperti kurikulum manusia. Kurikulum tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah, setiap binatang harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 8 untuk masing-masing mata pelajaran. Adapaun kelima mata pelajaran pokok tersebut, yaitu terbang, berenang, memanjat, berlari, dan menyelam. Mengingat bahwa sekolah ini berstatus “disamakan dengan manusia”, para binatang berharap kelak mereka dapat hidup lebih baik dari binatang lainnya. Oleh karena itu, berbondong-bondonglah berbagai jenis binatang mendaftarkan diri untuk bersekolah di sana, mulai dari elang, tupai, bebek, rusa, hingga katak.
Proses belajar-mengajar pun akhirnya dimulai. Terlihat bahwa beberapa binatang sangat unggul dalam mata pelajaran tertentu. Elang sangat unggul dalam mata pelajaran terbang. Tupai unggul dalam pelajaran memanjat. Bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran berenang. Rusa adalah murid yang luar biasa dalam pelajaran berlari. Lain lagi dengan katak, dia sangat unggul dalam pelajaran menyelam.
Begitulah, pada mulanya mereka adalah murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa pada mata pelajaran tertentu. Namun ternyata, kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih angka minimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Inilah awal dari semua kekacauan itu. Para binatang satu demi satu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai dan bahkan tidak disukainya.
Burung elang mulai belajar cara memanjat dan berlari. Tupai pun demikian, dia berkali-kali jatuh dari dahan yang tinggi saat mencoba terbang. Lain lagi dengan bebek, dia masih bisa mengikuti pelajaran berlari, walaupun sering ditertawakan karena lucu.
Demikian juga dengan binatang lainnya. Meskipun telah berusaha mempelajari yang tidak dikuasainya, mereka tetap tidak menampakkan hasil yang lebih baik. Yang lebih menyedihkan adalah karena mereka terfokus untuk dapat berhasil di mata pelajaran yang tidak dikuasainya. Lalu, perlahan-lahan elang mulai kehilangan kemampuan terbangnya, tupai sudah mulai lupa cara memanjat, begitupun dengan binatang lain. Dan yang paling malang adalah rusa, dia tidak lagi dapat berlari kencang karena paru-parunya sering kemasukan air saat mengikuti pelajaran menyelam.
Akhirnya, tak satu pun murid berhasil lulus dari sekolah tersebut. Bahkan, kemampuan mereka telah terpangkas dan satu per satu mulai mati kelaparan karena tidak bisa mencari makan dengan kemampuan unggul yang pernah dimilikinya.
Dari cerita ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa kurikulum sekolah telah memaksakan anak-anak kita untuk menguasai semua mata pelajaran dan melupakan kemampuan unggul mereka. Kurikulum dan sistem persekolahan telah memangkas kemampuan alami anak-anak kita untuk bisa berhasil dalam kehidupan menjadi anak yang hanya bisa menjawab soal-soal ujian. Hadirnya kurikulum merdeka yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan jawaban dari permasalahan tersebut.
Cerita lain tentang “memaksa” sebagai berikut: Sering kali kita mendengar di masyarakat, bahwa untuk menjadi kebiasaan harus dengan dipaksa terlebih dulu. Apakah benar demikian?
Di sekolah, kita sering melihat seorang guru memaksa kepada muridnya untuk mengikuti kegiatan yang terkadang tidak disukai oleh murid. Misalnya guru olahraga yang memaksa murid-muridnya untuk berenang. Atau seorang guru musik yang memaksa murid-muridnya untuk bisa memainkan alat music tertentu. Atau seorang guru yang memaksa murid-muridnya untuk mengikuti les privat terkadang disertai ancaman bila tidak mau maka akan berdampak pada nilai mereka.
Bila menengok kembali ke belakang, kita dulu mungkin juga dipaksa oleh orang tua untuk mengikuti kegiatan sesuai dengan keinginan mereka. Misalnya disuruh ikut les Bahasa Inggris karena nilai mata pelajaran ini kurang bagus di rapor. Atau disuruh ikut les matematika karena kemampuan berhitung yang rendah dan seterusnya. Sekarang, apakah kita sebagai guru juga melakukan hal yang sama, memaksa murid kita untuk melakukan hal yang tidak mereka sukai dan tidak ada kemampuan untuk itu.
Memaksa terkadang bisa berhasil untuk jangka pendek. Mungkin anak akan melakukannya karena rasa takut. Namun ada dampak jangka Panjang yang mungkin tidak kita sadari.
- Perilaku tidak akan jadi kebiasaan dalam jangka panjang. Perilaku hanya akan dilakukan jika dipaksakan dari luar karena perilaku tersebut bukan muncul dari kesadaran internal.
- Akan hilang ketertarikan bahkan muncul antipati terhadap kegiatan yang dipaksakan, misalnya anak yang dipaksa untuk ikut les musik mungkin anak justru antipasti terhadap music, bukan karena musiknya tapi karena pemaksaannya.
- Kemerdekaan berekspresi dan potensi anak menjadi terbatas.
Tiga dampak tersebut tentu bertolak belakang dengan perilaku disiplin yang kita harapkan. Ki Hajar Dewantara menyiratkan bahwa disiplin yang kuat adalah syarat utama untuk mencapai kemerdekaan. Dalam konteks Pendidikan, untuk menciptakan murid yang merdeka diperlukan disiplin yang kuat, yaitu disiplin diri dan memiliki motivasi internal yang kuat. Sementara merdeka menurut Ki Hajar Dewantara yaitu tidak hanya terlepas dari perintah akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri. Hal yang sama diungkapkan oleh Dianne Gossen bahwa disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju ke suatu tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna.
Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang peran seorang pendidik terhadap murid-muridnya.
“…kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.” (Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937)
Dari uraian tersebut, kita dapat memahami bahwa sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.
Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak. Maka menciptakan lingkungan dengan suasana positif merupakan sebuah keniscayaan agar anak betah di sekolah. Sekolah juga merupakan tempat anak untuk belajar baik akademik maupun non akademik. Semua itu tidak lain sebagai upaya mereka untuk meraih cita-cita. Oleh karenanya anak membutuhkan suasana yang nyaman, aman, merasa dihargai oleh guru maupun teman-temannya. Perasaan rileks akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam proses pembelajaran. Anak merasa enjoy, bisa menikmati suasana sekolah sehingga akan berpengaruh pada hasil belajar mereka yang bisa ditunjukkan dengan perolehan nilai secara akademik maupun prestasi non akademik karena anak bebas mengekspresikan bakat, potensi yang mereka miliki dengan pendampingan dari guru dalam suasana yang hangat. Jika anak berada dalam suasana tertekan maka akan berpengaruh terhadap sistem syaraf sehingga mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apa hubungan antara menciptakan suasana yang positif dengan proses pembelajaran yang berpihak pada murid? Pembelajaran yang berpihak pada murid akan terwujud pada suasana positif. Siswa dapat belajar dengan baik ketika suasana menyenangkan. Jika siswa dalam kondisi stres atau dalam tekanan maka siswa tidak bisa belajar secara efektif. Pembelajaran dapat efektif ketika lingkungan mendukung dan menyenangkan. Siswa diharapkan dapat menikmati belajar dan belajar harus diusahakan timbul dari perasaan suka serta nyaman tanpa paksaan. Untuk itu perlu diciptakan lingkungan menyenangkan dan bebas dari stres. Situasi itu dapat tercipta di sekolah dengan dukungan guru. Guru dapat menciptakan suasana itu denga cara tidak menetapkan target atau menuntut siswa melebihi kemampuannya. Inilah yang disebut sebagai pembelajaran yang berpihak pada murid. Pembelajaran yang menyenangkan, yang dapat menjadi wadah dan sarana siswa untuk belajar yang menjadi pembelajran bermakna.
Sebagai pendidik kita sebaiknya menerapkan cara-cara yang lebih positif Ketika meminta murid melakukan suatu kegiatan tanpa harus memaksa. Di antaranya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Mengajak atau mendorong murid untuk melakukan kegiatan yang membuat mereka senang.
- Membantu murid untuk menemukan inspirasinya.
- Membuka ruang dialog dengan murid.
Mari kita refleksikan bersama:
- Apakah kita cenderung memaksakan murid untuk melakukan sesuatu?
- Ataukah dengan membuat cara lain yang membuat murid merasa senang dan merasa dihargai dalam mengerjakan sesuatu?
- Bagaimana rasanya mengerjakan sesuatu tanpa dipaksa?