logo-color

Publikasi
Artikel Populer

MENGAPA AKU MENJADI GURU?

Muhammad Rapiq Hilal, S.Psi

Muhammad Rapiq Hilal, S.Psi

Guru Bimbingan Konseling Pesantren Tahfizh Al-Bassam Sukabumi

Perubahan masyarakat sama dengan perubahan kebudayaan, perubahan kebudayaan adalah perubahan peradaban, perubahan peradaban merupakan perubahan dunia. Tak ada yang salah dengan simpulan tersebut, namun inti dari perubahan tersebut bermula dari perubahan mentalitas manusia yang hidup di dunia ini, perubahan pola pikir tanpa pembentukan karakter adalah sebuah keniscayaan. Pembentukan karakter tanpa perubahan mentalitas hanyalah wacana yang mengambang.

Harapan akan munculnya sebuah tatanan peradaban masyarakat baru yang dimungkinkan menjadi solusi untuk merubah paradigma masyarakat Indonesia yang cenderung lemah tak berdaya dan terbelakang serta memberikan fasilitas dengan pelbagai kebijakan publik (public policy) yang harus berpihak kepada rakyat yang senantiasa tertindas oleh segelintir ‘hokian’ yang mampu mendominasi sektor riil dan sektor finansial, sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran, kemiskinan, dan memicu tindak kekerasan.

 Fenomena di atas tentu bersumber pada satu titik yang disebabkan kelemahan—untuk tidak menyebut kesalahan—sistem pemerintahan yang menjadi titik tolak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang cenderung pragmatis, keuntungan sesaat, serta mentalitas bangsa yang lemah, terlebih minimnya prestise bagi mereka yang memiliki prestasi dalam pelbagai disiplin keilmuan dan lebih cenderung menghargai mereka yang memiliki ‘prestasi’ dalam jagat hiburan yang tidak bermutu sama sekali.

Sehingga tak heran, jika di kemudian hari mereka yang memiliki kapasitas intelektual hanya bisa menyaksikan ambivalensi dimana para penjaja hiburan tersebut menjadi “public fugure” masyarakat (baca; anggota legislatif, fungsionaris pemerintah, dll.). Sampai pada akhirnya mereka mengambil alih hak-hak kaum intelektualis mulai dari aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Imbasnya banyak politisi dadakan yang muncul ke permukaan bahkan sampai menjadi ‘special one’ di pelbagai daerah, sebuah fakta yang sangat mengerikan.                                                                                                     

Padahal, kalau sekiranya kita berkaca pada seorang Rasulullah sebagai sosok pribadi yang mulia di hadapan Allah dan terhormat di kalangan manusia yang terkenal dengan sebutan Al-Amin, sebuah gelar yang hanya disematkan pada mereka yang memiliki kesempurnaan, tidak hanya sebagai intelektualis, tapi juga sebagai fungsionaris, gelar yang tidak sembarang orang mendapatkannya. Meskipun pada langkah selanjutnya beliau dicaci, dimaki, diteror, bahkan harus terusir sementara meninggalkan tanah kelahirannya menuju negeri yang lebih demokratis dan menerima semua golongan.

Harapan akan keadilan, kebersamaan, dan kedamaian merupakan silogisme kategoris yang didamba setiap bangsa, setiap ‘perebutan’ kekuasaan, mulai zaman “penjajahan” fisik bangsa lain mulai Portugis, Belanda, dan Jepang, hingga zaman “penjajahan” psikis bangsa sendiri di masa orde lama dan orde baru. Sampai menacapai klimaksnya di era reformasi yang sampai sekarang masih prematur, lahir dan sulit untuk tumbuh, apalagi berkembang.

Berdasarkan kegelisahan di atas, maka ada beberapa motivasi yang menjadi sandaran bagi penulis untuk menjadi seorang guru atau tenaga pendidik yang mengemban amanah sebagai regulator sekaligus eksekutor pembelajaran di kelas dan mencatatkan  diri menjadi bagian dari pelaku sejarah pendidikan Indonesia, bukan hanya pengamat apalagi penonton semata. Adapun beberapa motivasi-motivasi tersebut (meminjam istilah Dr. Abdul Munif dalam Transmisi Kebudayaan Timur Tengah Ke Indonesia; Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Bahasa Indonesia 1950-2004), antara lain adalah sebagai berikut:

1. Motif Relijius, sebagai seorang muslim, maka sudah selayaknya setiap insan turut ambil bagian dalam proses amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kompetensi dan performansi yang dimiliki yang tentu dilandasi dengan kemauan dan kemampuan yang seimbang, menjadi seorang guru termasuk salah satu wasilah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, karena dengan profesi tersebut kita bisa menjadi salah satu aktor dalam mengontrol segala aktivitas manusia (baca; anak didik), baik itu yang berkaitan dengan dimensi sosial, budaya, politik, dan segala aspek kehidupan manusia lainnya.

Agama mengajarkan ummatnya untuk saling mengingatkan, menasihati, mengajarkan dan mengamalkan ilmu (pengetahuan) yang dimilikinya sekecil apa pun yang kita miliki. Dengan menjadi guru, maka kita telah memilih ruang yang cukup leluasa dalam mengajarkan dan mengamalkan  ilmu (pengetahuan) yang kita miliki. Jika kelak anak tersebut memiliki pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill), dan sikap (attitude) yang sesuai dengan norma dan tata aturan (hukum positif) yang berlaku di masyarakat, maka kita akan mendapatkan pahala dari-Nya tanpa mengurangi pahala yang didapat oleh anak tersebut. Dan jika kelak anak tersebut berlaku sebaliknya, maka cukuplah bagi kita sebagai penyampai pesan (kebaikan), dan mendapatkan pahala dari-Nya tanpa harus menanggung dosa dari perbuatan (buruk) anak tersebut.

2. Motif Ideologi, motif ini menjadi landasan kedua setelah motif relijius, hal ini berkaitan erat dengan maraknya penyesatan opini terhadap agama (Islam) yang semakin hari semakin mengemuka. Demonologi Islam jilid baru seolah telah menampakkan keangkuhan dengan berusaha membunuh karakter (character assassination) Islam dan kaum muslimin. Dengan menjadi seorang Guru setidaknya kita bisa mem-breakdown pelbagai penyesatan opini terhadap Islam dan kaum muslimin.

Sebagai penyambung pesan Nabi di era modernisasi, keberadaan Guru (lagi-lagi) diuntungkan dalam kapasitasnya sebagai tenaga pendidik di lembaga pendidikan, mereka berkesempatan memberikan sanggahan terhadap pelbagai penyesatan opini terhadap Islam dan kaum muslimin oleh pelbagai pihak dan memberikan contoh positif (uswatun hasanah) kepada peserta didik bahwa Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanity).

3. Motif Edukatif, motif ini merupakan core dan concerning bagi penulis, karena dengan menjadi seorang guru, maka kita telah belajar untuk menjadi spiral of silent bagi masyarakat untuk memberikan pelbagai informasi yang senantiasa mereka butuhkan, terutama informasi-informasi penting yang selama ini hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Selain itu, guru dapat menyampaikan segala sesuatu lebih santun dan leluasa, tanpa mengurangi esensi kritis yang disertai argumen logis, jauh dari kesan agitasi-konfrontatif dan lebih mengedepankan alur dialogis-kompromistik.

Di samping itu, dengan menjadi guru, secara tidak sadar guru telah belajar bagaimana meningkatkan performanya dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Tak heran, bila semakin lama pengalaman guru mengajar, semakin bertambah pula kemampuan Guru tersebut dalam merencanakan (planning), melaksanakan (implementation), dan mengevaluasi (evaluation) pembelajaran baik di dalam kelas (inside the class) maupun di luar kelas (outside the class).

4. Motif Stimulasi-Provokatif, motif ini merupakan kulminasi dari tiga motif yang telah disebutkan di atas, harapannya semoga dengan menjadi seorang guru, penulis dapat menginspirasi orang lain dalam rangka menyebarkan kebenaran, salah satunya dengan menjadi guru. Dan tidak menutup kemungkinan masih banyak jalan lain untuk berbuat kebajikan di dunia.

Keempat motif di atas menjadi pertimbangan penulis untuk menjadi guru, penulis berharap dengan menjadi guru kita bisa meneladani kegemilangan Rasulullah SAW yang akhirnya beliau dapat menjadikan negeri penyamun dan biadab menjadi negeri yang santun dan beradab. Menciptakan tatanan masyarakat baru dan lebih toleran, mewujudkan sistem pemerintahan berasaskan keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, akomodatif dan kooperatif, jauh dari kesan anarkisme, monarki-absolut, penjajah, dan diskriminatif. Mendidik masyarakat menjadi lebih produktif, profesional, dan kontributif.

Seandainya para generasi penerus Rasulullah dapat melanjutkan estapeta pendidikan, mulai dari lingkungan keluarga, kemudian mentransmisikannya kepada masyarakat, bangsa dan negara, sampai seluruh makhluk di alam bumi ini, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran menjadi kenyamanan, rasa curiga menjadi saling percaya, sampai serigala buas pun ikut bersyukur dan tak lagi memangsa manusia, tak ada yang mesti dirisaukan dalam kehidupan ini.

Wallahu alam bi al-Shawab.

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I