Dr. LA YUSRAN LA KALAMU, M.Pd
Dosen di Universitas Bumi Hijrah Tidore
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 Tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Dalam pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pendidikan gratis adalah sebuah program pemerintah yang diupayakan untuk menyelesaikan masalah pemerataan akses pendidikan. Kebijakan ini juga merupakan upaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Kebijakan pendidikan gratis ini diharapkan akan mampu menyelesaikan masalah mahalnya biaya pendidikan yang banyak dikeluhkan masyarakat terutama dari golongan menengah ke bawah. Biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang selama ini ditanggung oleh sekolah dari beberapa sumbangan pendidikan (pungutan liar) dari masyarakat, ini diganti dengan dana BOS.
Kebijakan pendidikan gratis merupakan sebuah peristiwa besar yang perlu dikaji dan dipikirkan bersama. Dimana peristiwa tersebut dapat mempengaruhi maju mundurnya suatu negara, karena program pendidikan gratis tersebut dapat melahirkan kaum milenial yang berkualitas maupun yang minim kontribusi. Dibalik semua itu tergantung para pengolah (pendidik) dalam mengelolanya dengan baik agar menghasilkan SDM yang berkualitas, bukan sebaliknya.
Implikasi pendidikan gratis di sekolah dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS). Hal ini dapat berdampak pada beberapa permasalahan di sekolah yakni: 1) sarana dan prasarana sekolah yang tidak menunjang. Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa pengelola BOS (Bantuan Operasional Sekolah) menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional di sekolah. Tidak adanya partisipasi orang tua murid mengakibatkan semua biaya operasional sekolah bergantung pada BOS. Berdasarkan letak geografis Indonesia yang begitu luas, otomatis pemerataan baik jumlah penduduk maupun pemerataan dana pengalokasian untuk pendidikan pun tidak merata. Namun, adanya penetapan otonomi daerah maka seharusnya pengalokasian dana untuk pendidikan harus merata. Akan tetapi justru malah sebaliknya, tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah daerah terhadap sekolah-sekolah yang ada dipelosok. (2) Kualitas guru menurun. Kalangan pendidik jelas keberatan dengan adanya program pendidikan gratis, kesejahteraan guru mulai menurun, tidak ada uang tambahan lagi yang bisa didapatkan oleh guru, misal tambahan dari les-les, persenan dari hasil menjual LKS (Lembar Kerja Siswa) atau buku panduan. Sekolah jelas tiap bulan harus membayar gaji guru dan karyawan, mengeluarkan biaya operasional sekolah seperti listrik, air, telepon, internet dan tentu biayanya tidak sedikit, lalu pihak sekolah darimana mendapatkan biaya tersebut, jika kompensasi dari pendidikan gratis dibayarkan pertriwulan. Jika kondisi seperti ini, mengakibatkan motivasi guru menurun yang berdampak pada kurangnya kreativitas guru untuk pengembangan diri, karena guru mencari penghasilan tambahan di luar jam sekolah. Guru juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga mengajar seadanya tanpa ada kreativitas yang menarik bagi siswa, hal ini tentu saja berdampak pada output pembelajaran. (3) Sekolah gratis hanya berlaku di sekolah negeri. Orang tua siswa yang belum memahami tentang sekolah gratis, menganggap bahwa sekolah sekarang ini tidak lagi perlu mengeluarkan uang, termasuk kewajiban iuran yang telah dibebankan pada anaknya oleh sekolah, karena konsep gratis dimaksud telanjur diterima apa adanya tanpa memilah bahwa kebijakan gratis adalah untuk sekolah negeri dan tidak untuk sekolah swasta. Dengan demikian sekolah swasta tidak menjadi harapan bagi masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya, karena di sekolah negeri tidak membayar sedangkan di sekolah swasta harus membayar. Hal ini menyebabkan sekolah swasta yang membebani pembayaran bagi siswanya diabaikan oleh para orang tua, mereka cenderung ke sekolah negeri yang gratis. Jika orang tua siswa tidak mau membayar biaya atau iuran-iuran, maka guru-guru honorer ‘terancam’ tidak mendapat gaji dan sekolah tidak dapat beroperasional dan ‘terancam’ tutup. Selain itu, pemerintah tidak campur tangan terhadap pengembangan dan kemunduran sekolah swasta.
Solusi dari permasalahan implikasi pendidikan gratis adalah merujuk buku Panduan BOS Tahun 2007 dinyatakan bahwa Pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah untuk menerima sumbangan dari orangtua yang mampu. Dengan tegas harus “gratis” adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Adanya kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan pendidikan gratis. Melihat dibeberapa negara yang menggratiskan pendidikan dasar misalnya di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Menjamin mutu pendidikan yang berkualitas dengan adanya infrastruktur sekolah yang memadai, maka diperlukan dana dari pemerintah daerah dalam hal ini pengalokasian dana pendidikan tidak hanya mengaharapkan dana BOS dari pemerintah pusat serta pengalokasian dana tersebut secara merata diseluruh penjuru Indonesia dengan membentuk tim penggerak pendidikan yang bertugas sebagai tim pengontrol. Selain itu juga partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam penyelenggaran pendidikan terutama bagi masyarakat yang mampu. Karena Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis, tapi tetap harus ada yang membiayai (ada biaya terselubung).
Kesuksesan program pendidikan gratis ini terletak pada mutu/kualitas gurunya dan infrastruktur yang menunjang. Jika para gurunya berkualitas, memiliki kompetensi, memiliki wawasan yang luas, memiliki skill yang menunjang, mampu menguasai keterampilan-keterampilan khusus dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, siap mengabdi dan ditempatkan dimanapun di wilayah yang ada di Indonesia maka program kerja tersebut dapat terlaksana dengan lancar. Serta, jika pembangunan sekolah yang memadai memudahkan para siswa dan guru dalam hal proses pembelajaran di sekolah. Agar tercapainya harapan yang penulis kemukakan, tidak terlepas dari kepedulian pemerintah (pusat dan daerah) dalam hal pembiayaan pendidikan bagi sekolah (negeri/swasta), serta keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan demi keberhasilan cita-cita pembangunan nasional.