
BIASWORO ADISUYANTO AKA
Widyaiswara Ahli Utama
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Timur, Surabaya
biasworoadi.widyaiswara@gmail.com
Di tengah gelombang tuntutan terhadap pemerintahan yang bersih, efisien, dan akuntabel, integritas aparatur sipil negara (ASN) menjadi fondasi utama dalam memastikan kepercayaan publik tetap terjaga. ASN adalah wajah pemerintah yang setiap hari berhadapan langsung dengan masyarakat. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, ASN dituntut untuk netral, profesional, dan berpihak pada kepentingan umum. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit ASN yang harus menghadapi godaan konflik kepentingan, sebuah persoalan yang sering kali tersembunyi namun memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap tata kelola pemerintahan.
Konflik kepentingan secara umum dapat diartikan sebagai kondisi ketika seorang ASN memiliki kepentingan pribadi—baik secara langsung maupun tidak langsung—yang dapat memengaruhi netralitasnya dalam mengambil keputusan atau melakukan tindakan administratif. PermenPAN-RB Nomor 17 Tahun 2024 memberikan definisi yang tegas mengenai konflik kepentingan sebagai situasi di mana pejabat pemerintah memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenangnya sehingga dapat memengaruhi kualitas serta netralitas keputusan atau tindakan yang dibuat.
Dalam perspektif teori etika administrasi publik, konflik kepentingan merupakan bagian dari dilema etis yang harus dihadapi birokrat. Wahyudi Kumorotomo (2021), dalam bukunya Etika Administrasi Negara, menyatakan bahwa birokrasi modern tidak hanya harus taat hukum, tetapi juga harus mampu menjawab tantangan moral dan etis dalam pelaksanaan tugasnya. Etika deontologis dalam administrasi publik menekankan bahwa ASN memiliki kewajiban moral untuk menjunjung tinggi tanggung jawab jabatan dan bukan semata-mata berorientasi pada hasil, terlebih jika hasil itu menguntungkan dirinya sendiri.
Konflik kepentingan sering kali menjadi pemicu utama praktik korupsi. Data dari Lembaga Administrasi Negara (LAN RI) dalam Modul Konflik Kepentingan untuk Latsar CPNS (2025) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2020 hingga 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sebanyak 2.730 perkara korupsi. LAN menegaskan bahwa banyak dari kasus tersebut diawali oleh situasi konflik kepentingan yang tidak dikelola dengan baik. Ketika kepentingan pribadi atau kelompok mengalahkan kepentingan publik, maka pengambilan keputusan cenderung tidak objektif, diskriminatif, dan jauh dari prinsip keadilan. Dampak akhirnya bukan hanya merugikan negara secara material, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik.
Konflik kepentingan tidak selalu hadir dalam bentuk suap atau gratifikasi. Ada banyak wajah dari konflik kepentingan yang sering kali tidak disadari. Seorang ASN yang terlibat dalam penilaian pengadaan, sementara salah satu peserta tender adalah kerabatnya, sudah termasuk dalam situasi konflik kepentingan aktual. Demikian pula ketika seorang ASN berencana bergabung dengan perusahaan swasta yang terkait dengan sektor kerjanya setelah pensiun, maka ia sedang berada dalam situasi konflik kepentingan potensial. Baik yang aktual maupun potensial, keduanya sama-sama berbahaya jika tidak ditangani sejak dini.
Sumber konflik kepentingan bisa berasal dari berbagai hal. Kepemilikan saham atau aset dalam perusahaan yang berhubungan dengan pekerjaan ASN bisa menjadi salah satunya. Begitu juga dengan hubungan kekerabatan atau keluarga yang menempatkan ASN dalam posisi sulit saat harus membuat keputusan yang menyangkut pihak-pihak terdekatnya. Dalam beberapa kasus, afiliasi organisasi, komunitas, atau kedekatan dengan rekan kerja di luar institusi pemerintah juga dapat memunculkan konflik kepentingan. Termasuk pula situasi di mana ASN memiliki pekerjaan sampingan yang berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsinya, seperti menjadi konsultan di bidang yang sama dengan pekerjaannya di instansi pemerintah.
Situasi konflik juga dapat muncul akibat rangkap jabatan yang memunculkan kepentingan ganda. Misalnya, seorang pejabat yang menjabat sebagai komisaris di BUMN sementara di sisi lain ia memiliki kewenangan mengatur kebijakan di sektor yang sama. Ada pula fenomena revolving door, di mana mantan pejabat pemerintah memanfaatkan pengaruh dan relasinya di instansi lama untuk kepentingan pekerjaan barunya di sektor swasta. Tak kalah penting adalah gratifikasi yang, meskipun tidak selalu melanggar hukum, tetap berisiko memengaruhi objektivitas seorang ASN jika tidak dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi.
Dalam kerangka regulasi, pengelolaan konflik kepentingan bukan sekadar imbauan moral, tetapi juga amanat hukum. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa setiap pejabat pemerintah wajib menolak pengaruh dan tekanan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Begitu pula Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 yang mewajibkan ASN menjaga netralitas dan tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan. PermenPAN-RB Nomor 17 Tahun 2024 hadir sebagai panduan teknis yang menjelaskan secara rinci mekanisme pencegahan dan pengelolaan konflik kepentingan di lingkungan instansi pemerintah.
Salah satu langkah krusial dalam pengelolaan konflik kepentingan adalah pencatatan kepentingan pribadi secara berkala. ASN perlu melaporkan afiliasi, aset, pekerjaan tambahan, dan relasi yang berpotensi menimbulkan konflik. Ketika berada dalam situasi konflik kepentingan aktual, ASN diwajibkan untuk mendeklarasikan kondisinya kepada atasan langsung. Setelah itu, atasan akan menganalisis situasi dan menentukan bentuk pengendalian, apakah melalui pengalihan kewenangan, pengambilan keputusan secara kolektif, atau bahkan pelimpahan tugas kepada pejabat lain yang tidak memiliki konflik.
Tak kalah penting adalah penerapan masa tunggu atau cooling-off period bagi pejabat yang telah berhenti atau pensiun dari jabatannya. Dalam periode ini, mereka dilarang untuk berurusan langsung dengan instansi tempatnya dulu bekerja, terutama dalam hal perizinan, pengadaan, atau hubungan kerja lainnya. Kebijakan ini bertujuan mencegah penggunaan pengaruh jabatan lama demi kepentingan pribadi di tempat baru.
Namun, keberhasilan pengelolaan konflik kepentingan tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan regulatif. Diperlukan pula pendekatan budaya organisasi yang mendorong internalisasi nilai-nilai integritas secara menyeluruh. Pimpinan instansi perlu menjadi teladan dalam menolak gratifikasi dan mengambil keputusan yang transparan. Penguatan etika ASN bisa dilakukan melalui pelatihan, diskusi studi kasus, dan pengembangan komunitas integritas yang aktif mengedukasi rekan kerja. Simulasi dilema etis dan pemberian apresiasi terhadap ASN yang menunjukkan sikap bebas konflik juga menjadi bagian dari strategi informal yang efektif.
Tidak dapat dimungkiri, masih banyak tantangan dalam implementasi kebijakan ini. Minimnya pemahaman ASN tentang apa saja bentuk konflik kepentingan, rasa enggan melaporkan karena takut dianggap tidak loyal, hingga lemahnya mekanisme pengawasan menjadi tantangan nyata di banyak instansi. Oleh karena itu, penguatan unit pengawasan internal, pelatihan berkelanjutan, serta sistem pelaporan yang aman dan terpercaya harus menjadi prioritas dalam reformasi birokrasi.
Menjadi ASN yang berintegritas bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi juga merupakan komitmen moral untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Konflik kepentingan tidak selalu bisa dihindari, tetapi dapat dikenali dan dikelola dengan baik. ASN yang profesional adalah mereka yang mampu bersikap netral, berpihak pada kepentingan publik, dan berani menolak kepentingan pribadi yang mengganggu objektivitas.
Dengan mengenali dan mengelola konflik kepentingan sejak dini, ASN telah mengambil peran penting dalam membangun birokrasi yang beretika, melayani, dan dapat diandalkan. Maka dari itu, mari mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil, untuk menjaga agar tugas sebagai pelayan publik tidak tercederai oleh kepentingan pribadi. Karena ASN berintegritas adalah harapan sekaligus cermin dari masa depan pemerintahan Indonesia yang lebih baik.