ANIES MARSUDIATI PURBADIRI, S.H.,M.H.
Universitas Lumajang
aniesmp@gmail.com
Kata PMI yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Pekerja Migran Indonesia, yang dulunya dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), adapun alasan perubahannya secara filosofis adalah untuk menghormati hak dan kedudukan mereka sebagai tenaga kerja di luar negeri. Tenaga kerja dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, mempunyai arti, peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku tujuan pembangunan, bahkan tenaga kerja di luar negeri diibaratkan sebagai pahlawan devisa, oleh sebab itu perlu diberikan perlindungan, baik terhadap dirinya maupun keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar/hak-hak normatif pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteran tenaga kerja dan keluarganya. Khusus bagi PMI, negara memberlakukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, akan tetapi di dalam praktiknya masih banyak PMI yang belum memahami terhadap adanya perlindungan tersebut, baik disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan PMI sendiri maupun minimnya informasi yang diberikan oleh pengirim dan penerima PMI tersebut.
Menurut Dwi Ardhanaiswari dan Dhanny Sahfitri, dalam sebuah jurnal yang ditulisnya, dikatakan bahwa meskipun pekerja migran berperan penting di perekonomian Asia Tenggara, namun mekanisme perlindungan pekerja migran di kawasan ini masih sangat lemah. Berbagai kasus yang terjadi menunjukkan bagaimana pekerja migran, terutama yang tidak terdokumentasi dan/atau berketrampilan rendah, mendapatkan perlakuan yang tidak pantas di negara penerima. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ASEAN memfasilitasi serangkaian forum dialog dan mengeluarkan berbagai kesepakatan. Dalam melakukan hal ini, ASEAN melibatkan berbagai pemangku kepentingan utama, termasuk organisasi internasional, organisasi masyarakat sipil regional dan nasional.
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara, memberikan peluang kepada organisasi masyarakat untuk turut membantu PMI dengan caranya masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Adalah LSM SHARING Indonesian Academic Commuity yang aktif menyelenggarakan program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM), dan pada PKM Internasional II di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur-Malaysia, organisasi masyarakat ini mengajak serta lebih dari delapan puluh orang akademisi dari lintas disiplin ilmu dan lintas perguruan tinggi di Indonesia. Tujuannya adalah untuk melakukan pendampingan, pelatihan dan konseling terhadap 96 PMI yang sedang berada dalam binaan KBRI. Dikatakan binaan lantaran ada masalah hukum yang belum terselesaikan, misalnya : dokumen identitas dirinya hilang, berseteru dengan majikan, mengingkari perjanjian, pelecehan, ataupun eksploitasi, sehingga KBRI menjadi tempatnya berteduh dan mengadu.
Sebagai akademisi, penulis turut melakukan edukasi tentang landasan hukum yang digunakan untuk melindungi PMI berkaitan dengan hak-hak normatifnya sebagai pekerja. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, menyatakan bahwa : “ Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah dari luar wilayah Indonesia”. Dalam pasal ini tersirat bahwa perlindungan diberikan secara preventif artinya pencegahan dan secara represif yang berarti penanggulangan. Preventif diimplementasikan dalam bentuk pemeriksaan persyaratan sebagai PMI dan penjelasan teknis keberangkatannya ke negara penempatan. Sedangkan represif akan direalisasikan manakala PMI menghadapi masalah hukum di negara penempatan.
Gambar 1.
Suasana penyambutan Atase Pendidikan di KBRI
dan edukasi Hak Normatif kepada PMI Penempatan Malaysia
Syarat untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI), selain harus memenuhi kriteria sebagai pencari kerja ke luar negeri, yakni dokumen-dokumen yang dipersyaratkan oleh Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, juga yang bersangkutan harus terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat. Adapun dokumen tersebut, meliputi :
- Surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah, dengan melampirkan foto copy Buku Nikah
- Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah.
- Sertifikat kompetensi kerja
- Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi.
- Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat.
- Visa kerja.
- Perjanjian penempatan Pekerja Migran Indonesia, dan
- Perjanjian Kerja.
Pemenuhan dokumen tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, mengingat tantangan dan kesulitan yang dihadapi PMI setelah tiba di negara penempatan biasanya cukup banyak, contohnya : standarisasi kompetensi kerja yang tidak sama antara Indonesia dan Malaysia, isi perjanjian kerja yang tidak sejalan dengan ketentuan di Malaysia, dan sebagainya. Sementara di sisi lain tidak semua negara tujuan pro-aktif melindungi hak-hak pekerja atau buruh migran. Hal ini dikarenakan sistem hukum yang dianut tidak sama antara negara asal dengan negara penempatan PMI.
Setelah dokumen-dokumen tersebut dinilai cukup maka calon pekerja migran dapat memiliki hak-hak yang formal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, sebagai berikut :
- Mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai kompetensinya.
- Memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui diklat kerja.
- Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara penempatan, dan gambaran kondisi kerja di luar negeri.
- Memperoleh pelayanan profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja.
- Menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut.
- Memperoleh upah sesuai standar upah yang berlaku di negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau perjanjian kerja.
- Memperoleh perlindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan.
- Memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerja.
- Memperoleh akses berkomunikasi.
- Menguasai dokumen perjalanan selama bekerja.
- Berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tujuan penempatan.
- Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan PMI ke daerah asal, dan/atau memperoleh dokumen dan perjanjian kerja calon PMI dan/atau PMI.
Bertitik tolak dari ketentuan yang tersurat pada Pasal 6 ayat (1) tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada setiap pekerja termasuk PMI, melekat hak-hak normatif yang perlu diperhatikan sekaligus diperjuangkan pemenuhannya, meliputi :
- Hak yang bersifat ekonomi, yakni hak untuk mendapatkan upah, THR, dsb.
- Hak yang bersifat medis, yaitu hak untuk mendapatkan layanan kesehatan, obat-obatan, dan sebagainya.
- Hak yang bersifat sosial, artinya hak untuk mendapatkan keringanan biaya, BPJS, dan sebagainya.
- Hak yang bersifat politis artinya hak untuk bergabung dalam organisasi tertentu, seperti Serikat Pekerja, dan sebagainya.
Konsepsi pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh para akademisi tersebut, bukan bermaksud mengganggu atau bahkan meremehkan kinerja KBRI selaku representasi Negara Republik Indonesia di Malaysia, melainkan justru untuk membantu proses edukasi, sosialisasi dan konseling bagi PMI yang berada pada situasi dilematis, antara menahan kerinduan pada keluarga dan tanah air dengan kepatuhan pada proses hukum yang sedang diretas oleh KBRI agar nantinya PMI kembali tanpa masalah di negara asalnya.