logo-color

Publikasi
Artikel Populer

MAKNA “IQRA” DALAM KONTEKS KEKINIAN

Yuniar Hayati, S.Ag

Yuniar Hayati, S.Ag

SMPN 4 Mataram
hayatiyuniar@gmail.com

Berawal dari pertanyaan tentang mengapa ayat yang pertama kali turun adalah ayat tentang “Iqra” perintah membaca. Mengapa bukan tentang aqidah atau ibadah sholat, puasa, zakat atau ibadah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT lebih memfokuskan pada titik interes dalam ranah intelektual sebelum memasuki ranah lainnya. Metode “Iqra” atau membaca menjadi modal utama dalam memahami ayat-ayat Allah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.  

            Menurut Nasaruddin Umar “Iqra” memiliki arti yang besar, meliputi 4 hal antara lain; pertama how to read yaitu bagaimana cara membaca Alquran dengan baik dan benar (tartil) serta dapat mengkhatamkannya. Kedua how to learn yaitu bagaimana mendalami Alquran dengan artinya, tafsirnya dan takwilnya. Ketiga how to understang, bagaimana kita mampu menghayati/menafsirkan kitab suci Allah. Keempat; how to unveil the veils atau mukasyafah yaitu menyingkap tabir-tabir/rahasia dalam AlQuran.       

Membaca tidak hanya terbatas makna tersurat/ harfiah saja tetapi meliputi proses berfikir/makna tersirat.  Kesadaran yang lahir dari hati yang ikhlas sehingga mampu merealisasikannya dalam bentuk tindakan. Kemampuan membaca juga meliputi kemampuan membaca ayat-ayat Allah SWT (ayat Qouliyah) dan tanda-tanda alam (ayat Kauniyah).

Realitanya dalam setiap aktivitas kehidupan, selalu diawali dengan proses “Iqra” (membaca) atau literasi. Baik itu membaca/literasi dalam makna tersurat/harfiah maupun tersirat. Ketika kita akan menentukan arah dan tujuan hidup, kita perlu melakukan proses “Iqra” yaitu memahami hakekat makna hidup sesungguhnya. Bahkan dalam melakukan kegiatan yang paling sederhana sekalipun, kita perlu melakukan proses “Iqra” (membaca/literasi).

Bila menilik metode “Iqra” (membaca/literasi) yang merupakan ayat Alquran pertama yang turun sejak 14 abad yang lalu, maka umat Islam adalah pionir pertama dalam membangun budaya membaca/literasi. Jauh sebelum peradaban Eropa dan Jepang mengenal tradisi membaca/literasi. Kemajuan peradaban Islam telah terbukti dengan pesatnya perkembangan Iptek pada masa Dinasti Umayyah (abad 6 – 7M), Dinasti Abbasiyah (abad 7 – 13M) dan Dinasti Turki Usmani (abad 13 – 19M). Islam bersinar dan berjaya karena Andalusia (Spanyol) dan Baghdad (Irak) menjadi pusat Iptek dan peradaban dunia pada masanya. Hal ini bisa dilihat dari hasil karya para ilmuwan islam di berbagai bidang dan  peninggalan sejarah di kota Spanyol dan Negara Turki hingga kini.

Pengertian metode “Iqra” dalam konteks kekinian dapat dikategorikan dengan metode budaya Literasi. Pada tingkat pendidikan menengah dan pendidikan dasar, Literasi menjadi salah satu parameter penilaian terhadap peserta didik dan sistem belajar yang diberikan oleh guru di kelas. Hal ini terdapat dalam soal-soal AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) bagi peserta didik dan survey bagi pendidik sebagaimana yang telah dilaksanakan baru-baru ini.  Untuk mengukur sejauh mana upaya warga sekolah dalam menciptakan linkungan dan budaya yang kondusif untuk Proses Belajar Mengajar.

Keterangan:  Gambar 1 dan 2 hasil survei PISA tahun 2018

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa pemaknaan literasi dan gerakan literasi semakin berkembang di Indonesia. Salah satunya hasil survey PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2018 yang diterbitkan bulan Maret 2019 oleh OEDC (The Organisation for Economic Cooperation anf Development) Kemampuan literasi bangsa Indonesia dalam hal membaca, matematika dan sains tergolong rendah sebab berada di urutan ke-74 dari 79 negara, menempati nomor ke-6 dari bawah dengan skor rata-rata 371.

Pada tahun 2018 soal Ujian Nasional di Indonesia mulai memakai Higher Order Thinking Skills (HOTS) yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang meliputi analisis, evaluasi dan penciptaan. Banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal UN. Karena metode belajar di Indonesia masih menggunakan LOTS (Lower Order Thinking Skills) atau kemampuan berpikir tingkat rendah yaitu menghapal, memahami dan mengaplikasikan.  Soal-soal UN di Indonesia selama ini memiliki tingkat kesulitan di bawah standar PISA yang berbasis HOTS. Sementara negara-negara pendiri OECD telah menerapkan system taksonomi Bloom pada system pendidikan mereka. HOTS adalah sebuah metode belajar yang diadopsi dari Benjamin Bloom lewat teori “Taksonomi Bloom”.

Ranking peforma membaca orang Indonesia berada di urutan ke-44 (skor 397) dari 70 negara. Sang juara ranking pertama adalah singapura (skor 535), kedua Kanada (skor 527) dan ketiga Hongkong (skor 527) menurut penelitian tahun 2015. Hasil survei PISA yang dirilis OECD terhadap minat baca orang Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara. Sedangkan UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1000 orang, hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Karena budaya baca orang Indonesia rendah maka otomatis diklaim rendah pula indeks literasinya. Sehingga berimbas kepada stigma bahwa Indonesia menjadi rendah daya saingnya, rendah indeks pembangunan SDM-nya, rendah income perkapitanya hingga rendah rasio gizinya. Hal itu semua akan berpengaruh kepada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia itu sendiri.

Saat ini pemerintah sedang menggalakkan Budaya Literasi dengan mengadakan Diklat dan Webinar-Webinar Literasi. Terlebih di lingkup pendidikan, budaya Literasi dikembangtumbuhkan pada seluruh warga sekolah, agar mampu melahirkan sumber daya manusia yang unggul. Namun mengapa gerakan literasi menjadi fokus parameter penilaian terhadap peserta didik dan guru. Menurut Fahri Abdillah ada beberapa alasan yang mendasarinya; Pertama, Muncul kesadaran yang mendasar tentang kemajuan dan masa depan bangsa Indonesia. Karena faktor literasi yang tinggi sangat mendukung keunggulan dan kemajuan sebuah bangsa. Kedua, kesadaran masyarakat dan pemerintah bahwa kemajuan dan keunggulan bangsa sangat ditentukan oleh tradisi literasi yang baik. Ketiga, adanya kepedulian dari komunitas-komunitas untuk menumbuhkan dan menyebarkan budaya Literasi di lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan. Andai budaya “Iqra” (membaca/literasi) itu dikenalkan sejak dini, boleh jadi suatu saat akan muncul cendekiawan-cendekiawan yang mumpuni di bidangnya masing-masing.  

Menumbuhkan Budaya Literasi terutama Literasi Digital bagi masyarakat sangat dibutuhkan saat ini, karena kemajuan teknologi digital yang begitu pesat. Kemajuan ini harus diimbangi dengan kemampuan literasi masyarakat yang mumpuni dalam memahami pesan-pesan di media sosial, agar tidak terjebak dalam pemahaman-pemahaman sempit seperti berita-berita hoax yang menyesatkan. Dengan menerapkan metode “Iqra” atau budaya literasi diharapkan seorang muslim mampu membaca, memahami dan mampu mengimplementasikan pesan-pesan Ilahiyah (ayat-ayat Alquran) ke dalam realitas kehidupan. Sehingga metode “Iqra” bukan hanya tentang literasi/membaca saja tetapi mencakup kemampuan/kecerdasan berpikir dan mengambil keputusan, terutama di era globalisasi abad milenium seperti sekarang.

Peran Guru sebagai Murobbi (Pendidik) sangat urgen dalam mendidik dan mensosialisaikan  pesan “Iqra” dalam setiap kesempatan. Agar ke depannya makna “Iqra” dapat membumi dan dipahami serta diaplikasikan dalam kehidupan agar sesuai dengan konteks kekinian.

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I