logo-color

Publikasi
Artikel Populer

GURU, CINTA DAN PERLAWANAN

Muflih

Muflih

Guru

Hakikatnya, di dunia dengan segala penghuninya yang bernama manusia ini hanya ada dua profesi yaitu guru dan non guru. Artinya, sebenarnya yang disebut guru bukanlah hanya setiap yang secara formal berhadapan dengan peserta didik di kelas, tetapi adalah setiap orang yang menularkan ilmunya sebagai bentuk kepedulian untuk berbagi hal yang diketahui. Siapa pun yang bersedia berbagi atas ilmunya, dia adalah guru dan siapa pun yang tidak bersedia berbagi dengan ilmu yang dimiliki adalah non guru.

Namun demikian, tulisan ini bukan untuk mengupas guru dalam pengertian di atas. Saya akan mencoba mendiskusikan tentang guru dalam arti formal yang istilahnya telah diterima secara luas bahwa guru adalah orang yang sudah lulus dari pendidikan formal tertentu dan mengajarkan ilmu yang didapatkan ke lingkungan sekolah formal berhadap-hadapan dengan peserta didik dalam periode tertentu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa guru adalah “Orang yang pekerjaannya atau profesinya mengajar”. Dengan demikian, guru adalah pengajar yang itu bukan hanya sekedar menularkan ilmu tetapi itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan atau profesinya. Artinya, hari-harinya adalah mengajar. Ini bisa formal bisa juga nonformal. Adapun yang dimaksud oleh penulis adalah formal.

Menjadi guru adalah pilihan hidup yang sangat mulia. Banyak keterangan yang menyebutkan tentang keunggulan menjadi seorang guru. Hampir semua orang besar di kolong langit ini berangkat dari profesi guru. Sebutlah salah satu di antaranya, Ir. Soekarno.

Menurut website pedomanbengkulu, semasa pengasingan di Bengkulu, Ir. Soekarno adalah seorang guru Muhammadiyah.  Begitu juga banyak tokoh lain yang sudah kita ketahui. Sebutlah, kyai Ahmad Dahlan, kyai Haji Hasyim Asyarie dan Budiono, mantan wakil presiden Republik Indonesia.

Seiring dengan pembicaraan guru pada dekade terakhir di Indonesia sekarang ini, kita dikenalkan dengan sebuah institusi Islam yang mewacanakan suatu sekolah berasrama dengan memadukan kurikulum dari kementrian Pendidikan dan kebudayaan dan kurikulum nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, ini adalah suatu bentuk baru dari model institusi pendidikan. Dikatakan mengambil bentuk baru, karena jika merunut  bentuk-bentuk institusi pendidikan yang sudah ada sebelumnya, baik formal maupun nonformal belum ada yang memadukan sebagaimana sekolah IT (Islam terpadu) ini.

Sebagai suatu bentuk, tentu sekolah IT pun tidak terlepas dari berbagai kelemahan. Jika Sekolah yang hanya mengacu kepada kurikulum kemendikbud berpotensi kekurangan nilai-nilai keagamaan, sedangkan pesantren berpotensi untuk ketinggalan zaman, begitu pula, sekolah IT  berpotensi memiliki kelemahan-kelemahan di samping keunggulannya yang tentu lebih banyak.

Adapun kelemahan-kelemahan yang mungkin muncul di suatu sekolah IT menurut penulis adalah hal-hal berikut:

  1. Rasa jenuh pada siswa karena suasana yang jarang berubah

Sekolah IT berada dalam suatu kompleks yang di dalamnya diharapkan dengan adanya penyatuan antara sekolah dan asrama, siswa dapat dikawal selama 24 jam dalam beraktivitas. Tetapi di sisi lain, karena di suatu tempat yang berterusan monoton, maka peluang kejenuhan menjadi hal yang tak terelakkan.

  1. Latar belakang siswa dari kalangan menengah ke atas terkadang berpola hidup manja

Dalam pengamatan penulis, kebanyakan atau bahkan hampir semua, sekolah IT adalah sekolah-sekolah yang dipilih oleh kalangan masyarakat dengan strata ekonomi menengah ke atas. Kondisi ini seringnya, menyebabkan anak-anak sekolah IT berpola hidup manja. Sebagian besar menghendaki perlakuan “ingin dilayani”, bukan melakukan suatu tugas.

  1. Belum siapnya sebagian siswa lulusan sekolah umum untuk dibawa dalam suasana sekolah berilmu keislaman

Sekolah Islam terpadu menawarkan pendidikan formal yang dikayakan dengan pelajaran-pelajaran keagamaan, seperti: al-Qur’an, fiqh, aqidah dan siroh nabawiyyah. Bagi murid-murid lulusan sekolah-sekolah umum tentu hal ini akan menjadi kekagetan tersendiri, sebab sebelumnya mereka kurang atau sama sekali tidak mengenalnya.

 

Dari tiga pemaparan tentang beberapa kelemahan atau lebih tepatnya beberapa hambatan di sebuah sekolah IT, maka sebagaimana dikatakan oleh orang bijak bahwa pemenang adalah orang yang mampu menjadikan hambatan sebagai peluang, demikian pula guru di sekolah IT yang berkualitas adalah guru yang mampu menjadikan hambatan-hambatan di atas sebagai peluang, dengan cara:

1) Mengadakan pekan-pekan peradaban yang selalu berganti tema pada tiap pekannya

Pekan peradaban yang dimaksud adalah seperti pekan kejujuran, pekan kedisiplinan, pekan kebersihan, pekan kerapian ataupun pekan kasih sayang. Tema-tema ini dapat ditentukan melalui suatu rapat yang melibatkan para unsur pimpinan, guru dan karyawan. Pelaksanaannya dapat dimulai pada hari senin, misalnya, untuk dievaluasi selama satu pekan. Cara penilaiannya dapat digambarkan secara sederhana seperti ini. Pekan kebersihan, misalnya, maka dimulai pada pagi hari semua wali asrama memantau  anak yang palimg kelihatan peduli terhadap kebersihan. Di sekolah, para  guru juga berbuat hal yang sama.Hasil dari pemantauan para guru dan karyawan tadi dikumpulkan pada hari sabtu sore dan pemenangnya diumumkan pada pelaksanaan upacara bendera atau apel pagi dengan pemberian hadiah oleh kepala sekolah. Hadiah diberikan dalam bentuk barang-barang yang berkaitan dengan kebersihan, misalnya sapu, tempat sampah, kain pel dan tentu saja uang saku atau makanan ringan sebagai motivator bagi pemenang.

2) Guru dan berperan sebagai orang tua pengganti

Sebagian ahli psikologi mengatakan bahwa ada dua tipe pembelajar. Pertama, tipe guru, ciri-cirinya adalah mendahulukan ilmu daripada terpeliharanya hubungan baik dengan anak didik. Secara luas dapat dikatakan bahwa tipe pembelajar pertama ini adalah mengutamakan transfer ilmu darinya untuk dapat diserap dengan sempurna oleh anak didik. Mereka tidak terlalu memperhitungkan hubungan emosional antara dirinya dengan anak didiknya. Mereka memegangi prinsip “Biarlah saya dibenci oleh murid asal mereka mengerti pelajaran saya.” kedua, tipe orang tua, ciri-cirinya adalah kebalikan dari tipe pertama. Jadi prinsip mereka adalah ”Biarlah pelajaran saya tidak tersampaikan secara sempurna kepada murid asal saya dan mereka tetap terjalin hubungan baik.” Menilik latar belakang ekonomi sebagian besar siswa, nampaknya memilih tipe pembelajar kedua adalah lebih tepat.

3) Memberdayakan siswa-siswa baik dari lulusan full day/boarding schoolmaupun lulusan sekolah umum dalam suatu  kelompok diskusi agama

Dengan demikian dalam kelompok ini akan terjadi “Take and Give”. Kekurangan pengetahuan agama dari lulusan sekolah umum dapat terisi dengan diskusi-diskusi sekitar al-Qur’an, fiqh, aqidah, siroh maupun pengetahuan agama umum dari siswa-siswa dalam kelompok itu yang telah mendapatkan pelajaran tentangnya. Sebaliknya, siswa lulusan sekolah umum dapat berbagi tentang pengalamannya pula. Dengan kondisi ini diharapkan akan terwujud suasana belajar tanpa harus merasa digurui dan minder dalam kekurangan pengetahuan agama.

Pada akhirnya, disadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak mewakili keseluruhan adanya masalah pengajaran dan upaya menjadi guru yang penuh cinta dan melawan kebuntuan dalam suatu pengajaran di sekolah Islam terpadu, tetapi tiga hal di atas beserta alternatif pemecahannya merupakan semacam pencerahan untuk ditindaklanjuti bersama. Wallahu a’lam

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I