Ahmad Soleh
ahmadsolehsa88@gmail.com
Kepala Desa Sumber Agung
Korupsi kerap tumbuh subur pada proses penganggaran publik yang tertutup, kompleks, dan sulit diawasi. Di Indonesia, persoalan ini masih menjadi tantangan serius. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 menunjukkan skor Indonesia berada pada angka 37 dari 100, mencerminkan persepsi korupsi sektor publik yang relatif tinggi [1]. Praktik korupsi anggaran tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menghambat efektivitas pembangunan. Dalam konteks inilah, e-budgeting hadir sebagai instrumen penting untuk mendorong transparansi dan mencegah korupsi sejak tahap perencanaan anggaran.
Secara konseptual, penganggaran publik merupakan arena strategis karena menyangkut alokasi sumber daya negara. Kerentanan korupsi muncul ketika kewenangan terpusat pada segelintir aktor, diskresi pengambil keputusan tinggi, sementara mekanisme pengawasan dan akuntabilitas lemah. Kondisi ini sejalan dengan rumus korupsi Klitgaard yang menyatakan bahwa korupsi meningkat ketika monopoli dan diskresi tidak diimbangi oleh akuntabilitas [2]. Dalam praktiknya, perubahan anggaran kerap dilakukan secara tertutup, tidak terdokumentasi dengan baik, dan sulit diakses publik, sehingga menciptakan asimetri informasi antara pemerintah sebagai pengelola anggaran dan masyarakat sebagai pemilik kepentingan.
E-budgeting dirancang untuk meminimalkan ruang gelap tersebut melalui sistem digital yang terdokumentasi dan dapat ditelusuri. Pertama, e-budgeting meningkatkan transparansi dengan membuka akses publik terhadap dokumen perencanaan, penganggaran, dan realisasi. Open Budget Survey 2023 menunjukkan bahwa keterbukaan anggaran Indonesia berada pada kategori “cukup” dengan skor 70, menandakan adanya kemajuan signifikan dalam penyediaan informasi fiskal kepada publik [3]. Akses data ini penting karena transparansi meningkatkan biaya politik dan administratif bagi pelaku yang ingin melakukan penyimpangan.
Kedua, e-budgeting memperkuat jejak audit (audit trail). Setiap perubahan anggaran tercatat secara sistematis—siapa yang mengubah, kapan perubahan dilakukan, dan pada komponen apa. Mekanisme ini menyulitkan manipulasi anggaran tanpa meninggalkan bukti digital, sekaligus mempermudah pengawasan oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP), Badan Pemeriksa Keuangan, maupun aparat penegak hukum. Dari perspektif teori principal–agent, audit trail membantu mengurangi asimetri informasi antara agen (pemerintah) dan prinsipal (publik) dengan menyediakan bukti objektif atas setiap keputusan anggaran.
Ketiga, e-budgeting membuka ruang partisipasi publik. Portal anggaran daring memungkinkan masyarakat sipil, akademisi, dan media melakukan pemantauan serta memberikan masukan terhadap kebijakan anggaran. Pengalaman beberapa pemerintah daerah menunjukkan bahwa keterbukaan data anggaran mendorong diskursus publik yang lebih berbasis data dan memperkuat kontrol sosial terhadap pemerintah.
Meski demikian, efektivitas e-budgeting tidak bersifat otomatis. Studi evaluatif pada penerapan e-budgeting di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa sistem ini memang meningkatkan transparansi dan kemudahan penelusuran anggaran, namun masih menghadapi tantangan berupa keterbatasan literasi digital aparatur, kompleksitas antarmuka sistem, serta belum optimalnya integrasi dengan sistem lain seperti e-procurement dan e-monitoring [4]. Tanpa integrasi tersebut, praktik korupsi berpotensi bergeser ke tahap lain, terutama pengadaan barang dan jasa.
Penting untuk dipahami bahwa digitalisasi bukanlah obat tunggal. Teknologi hanya menyediakan alat, sementara efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen kelembagaan, budaya integritas, dan penegakan hukum. Bank Dunia menegaskan bahwa teknologi antikorupsi akan berdampak signifikan bila disertai reformasi institusional, transparansi yang bermakna, serta mekanisme akuntabilitas yang berjalan konsisten [5].
Oleh karena itu, e-budgeting harus ditempatkan dalam kerangka good governance yang komprehensif. Pertama, diperlukan integrasi sistem pengelolaan keuangan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan, penganggaran, pengadaan, hingga evaluasi. Kedua, data anggaran perlu disajikan dalam format yang mudah dipahami dan dapat diolah publik, bukan sekadar tersedia secara formal. Ketiga, penguatan kapasitas aparatur dan peningkatan literasi anggaran masyarakat menjadi prasyarat agar keterbukaan benar-benar dimanfaatkan.
Pada akhirnya, e-budgeting bukan semata persoalan teknologi, melainkan keberanian politik dan administratif untuk membuka proses anggaran kepada pengawasan publik. Ketika anggaran dapat dilihat, ditelusuri, dan dipertanyakan secara luas, ruang korupsi akan semakin menyempit. Di titik inilah e-budgeting berpotensi menjadi instrumen pencegahan korupsi yang efektif—bukan hanya dalam dokumen kebijakan, tetapi dalam praktik tata kelola sehari-hari.
Daftar Pustaka Vancouver
1. Transparency International. Corruption Perceptions Index 2024: Indonesia. Berlin: Transparency International; 2024.
2. Klitgaard R. Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press; 1988.
3. International Budget Partnership. Open Budget Survey 2023: Indonesia. Washington DC: IBP; 2023.
4. Santiko B, Marina N. Evaluation of the effectiveness of e-budgeting in increasing budget management transparency in the DKI Jakarta Provincial Government. J Public Adm Gov. 2025.
5. World Bank. Enhancing Government Effectiveness and Transparency: The Fight Against Corruption. Washington DC: World Bank; 2020.









