
Tionomi Sihite, S.Pd.
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika
Research Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Program Kerja Sama GASING (Gampang, Asyik, Menyenangkan)
Artikel ini merupakan bagian dari refleksi pembelajaran untuk mata kuliah Kajian Pedagogik di bawah bimbingan Prof. Turmudi, M.Sc., M.Ed., Ph.D.
tionomisihite19@upi.edu

Fenomena digital terlihat jelas di halaman rumah sore itu, sekelompok anak sekolah menari kompak mengikuti irama lagu yang sedang viral. Hafal gerakan, percaya diri, dan penuh semangat. Ironisnya, semangat itu sirna ketika mereka diminta untuk menyebut lima sila Pancasila atau ketika menyanyikan lagu kebangsaan. Fenomena ini bukan soal siapa yang salah, melainkan sinyal bahwa ada yang mulai bergeser dalam proses pendidikan anak-anak kita. Anak-anak zaman sekarang lebih akrab dengan tren digital daripada nilai-nilai budaya lokal mereka sendiri. Pertanyaannya, ke mana peran keluarga?
Keluarga sejatinya merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama dalam kehidupan anak. Sebelum mengenal guru, buku pelajaran, atau bangku sekolah, anak lebih dulu belajar di rumah, belajar berbicara, menghargai orang lain, bersikap sopan, serta mengenal nilai dan budaya. Namun, realita hari ini menunjukkan pergeseran. Banyak keluarga yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan terpaku pada gawai masing-masing. Tanpa disadari, mereka mulai melupakan fungsi edukatif keluarga. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam lingkungan minim interaksi, dan lebih parahnya lagi, tanpa bekal nilai budaya serta jati diri yang kuat.
Budaya lokal di berbagai daerah Indonesia telah lama menjadi sarana pendidikan karakter. Di Manado, nilai gotong royong atau mapalus diperkenalkan sejak usia dini melalui aktivitas harian seperti membersihkan lingkungan dan memasak bersama. Di kalangan masyarakat Batak, ajaran martutur dan marsahala menekankan pentingnya hormat pada orang tua serta menjaga kehormatan marga dalam kehidupan sosial. Sedangkan dalam tradisi Sunda, prinsip someah hade ka semah membentuk sikap ramah dan santun kepada sesama.
Namun hari ini, banyak anak lebih hafal nama selebritas TikTok atau idola K-Pop daripada tokoh adat atau nama leluhurnya sendiri. Bukan karena mereka tak mau belajar, tapi karena tak ada yang mengajarkan. Tak sedikit pula yang terbiasa menuliskan komentar bernada kasar di media sosial, menunjukkan lunturnya sikap sopan santun dalam kehidupan digital. Ketika keluarga tidak menanamkan budaya sejak dini, anak akan berupaya menemukan identitasnya melalui lingkungan luar, termasuk ruang digital yang cepat menyuguhkan berbagai pengaruh, meski belum tentu bersifat edukatif.
Kita tak bisa menyalahkan teknologi. Yang perlu dilakukan adalah menguatkan kembali fungsi keluarga sebagai pusat pendidikan nilai dan budaya. Ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana: bercerita tentang adat saat makan malam, mengajarkan lagu daerah sebelum tidur, mengajak anak terlibat dalam kegiatan gotong royong, hingga mengajarkan sopan santun dalam bahasa ibu.
Keteladanan orang tua adalah kunci. Anak-anak meniru lebih cepat dari yang diajarkan. Jika ingin anak mencintai budaya, maka budaya harus dihidupkan dalam keseharian keluarga. Sekolah bukan satu-satunya pihak yang harus memikul beban pendidikan karakter dan budaya. Ki Hajar Dewantara menyebut rumah sebagai lahan paling subur bagi tumbuhnya budi pekerti. Artinya, peran keluarga bukan sekadar mendampingi, tapi juga membentuk.
Sebelum gawai menjadi pusat perhatian anak-anak, biarkan mereka lebih dahulu dibekali pemahaman tentang identitas, asal-usul, dan nilai-nilai yang membentuk karakter mereka. Sebab pendidikan terbaik adalah yang dimulai dari rumah, dengan cinta, keteladanan, dan penghargaan terhadap budaya sendiri. Jadikan rumah sebagai tempat belajar pertama yang paling bermakna, tempat di mana budaya dan karakter ditanamkan sebelum anak-anak mengenal dunia luar.