logo-color

Publikasi
Artikel Populer

GURUKU BUKAN E-LEARNING

Dinda Aulia Rahman, SE., MA

Dinda Aulia Rahman, SE., MA

Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI
dinda.auliarahman@gmail.com

Dunia pendidikan di Indonesia tengah memasuki babak baru, yaitu eskalasi penggunaan teknologi internet/digital dalam membantu kegiatan pembelajaran. Dalam berbagai catatan di berbagai media, pengembangan pendidikan berbasis teknologi digital seperti e-learning diyakini memiliki banyak keunggulan seperti dukungan jaringan dengan kemampuan memperbaharui, menyimpan, mendistribusikan materi ajar  atau  informasi secara lebih luas dengan lebih efektif-efisien bila dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran konvensional/tradisional.

Kehadiran teknologi e-learning yang semakin masif adalah konsekuensi logis dari perkembangan revolusi industri, bahkan saat ini para ahli menyebut sedang terjadi revolusi komunikasi. Revolusi industri 4.0 bersama revolusi komunikasi melahirkan ledakan pengaruh dimana-mana, termasuk dalam dunia pendidikan.

Life on Screen

Seorang sosiolog dari Harvad University mengatakan bahwa dunia bersama kehidupan barunya telah muncul, yaitu layar (Screen). Para penghuni ‘kampung’ layar tersebut sedang mengalami transformasi dari homo sapiens menjadi homo digitalis. Benturan budaya dan nilai-nilai pun akhirnya sulit dielakkan akibat hubungan manusia yang semakin intens dan mesra dengan mesin-mesin digital yang terus dikembangkan kemampuannya. Kekhawatiran dampak buruk kemajuan teknologi semakin terasa dengan hadirnya mesin pembelajaran Artificial Intelligence (AI). Mengutip pendapat Prof. Dr. Poppy Yaniawati, M.Pd, tak dipungkiri bahwa AI banyak menjanjikan  sisi positif bagi dunia pendidikan, namun AI juga berpotensi  bisa mengurangi peran penting tenaga pendidik sehingga peserta didik tidak lagi mendapatkan interaksi sosial dan emosional yang dibutuhkan dalam proses pendidikan.

Akankah peran Guru semakin lama semakin menghilang, tergantikan oleh mesin-mesin elektronik? Adakah sosok Guru, nasibnya akan sama seperti petugas loket pintu’ tol yang kehadirannya sudah tak relevan lagi dengan kehadiran teknologi?

Pertanyaan di atas patut direnungkan bersama ditengah euphoria e-learning. Seperti kita ketahui, kemajuan teknologi informasi di sektor  perdagangan, perbankan, transportasi, dan sebagainya telah mendorong inovasi-inovasi bisnis penuh kejutan. Sepertinya tak ada sektor yang tidak terimbas, termasuk dunia pendidikan dimana kemajuan teknologi informasi menjadi ‘episentrum’ perubahan sehingga memberikan corak baru dalam konsep model, strategi, cara, dan pendekatan-pendekatan sistem pembelajaran. E-learning memang diakui banyak menawarkan sisi-sisi kebaruan (novelty), kepraktisan, kemudahan, efektivitas, efisiensi, kecanggihan, dan kesenangan dalam belajar.

Wacana e-learning sebenarnya bukan barang baru. Jauh sebelum gonjang ganjing disruption era serta Covid-19 pandemic effect, teknologi ini telah mulai banyak dikenal di dunia pendidikan. Dan sekarang e-learning menemukan momentumnya yang tepat untuk segera diimplementasikan. Dengan demikian, revolusi teknologi e-learning adalah realitas di depan mata yang mau tidak mau harus kita adopt agar institusi pendidikan bisa tetap eksis. Inilah era baru dimana akhirnya kita dihadapkan pada dua pilihan, berubah atau segera punah.

Tulisan ini bukan maksud menafikan, apriori, atau menentang perubahan karena perubahan adalah sunatullah yang tidak bisa dihindari. Pergantian jaman itu pasti, revolusi teknologi itu terjadi, transformasi budaya itu keniscayaan, namun hakekat pendidikan tidaklah berubah. Dalam sebuah sistem pendidikan, yang namanya kehadiran seorang guru – dengan segala kelebihan dan kekurangannya – masih tetap menjadi hal yang utama. Begitu pula peran serta orang tua, masyarakat dan lingkungan terhadap keberhasilan pendidikan tetap tak tergantikan oleh apapun sepanjang jaman. Berbagai fenomena memprihatinkan tentang perilaku tawuran anak-anak SMA atau juga keributan mahasiswa antar fakultas dalam satu kampus yang pernah kita dengar, belum pernah diberitakan bahwa faktor pemicunya gara-gara persoalan kegagalan kinerja e-learning.

Titik berat pendidikan orang dewasa secara umum mencakup tiga pilar besar, yaitu aspek kognitif – termasuk didalamnya penguasaan kompetensi – aspek afektif, dan juga aspek konatif atau tindakan yang dalam hal ini luaran pendidikan berupa karakter unggul dan berakhlak mulia. Bicara pendidikan orang dewasa tentu bukan hanya sekedar kegiatan transfer of knowledge, tapi juga di situ ada empowerement, enligtment, dan enhance dari para guru, dosen, orangtua, dan lingkungan. Dengan demikian, interaksi sosial yang terbangun akan menciptakan ‘rasa’ atau values yang tidak bisa dibentuk oleh mesin elektronik. Didalam interaksi sosial itulah ada character building, ada emotional touch, ada figur, ada role model atau keteladanan, yang sekali lagi tidak bisa dilakoni oleh mesin elektronik secanggih apapun.

Adalah sebuah keniscayaan dan keharusan bahwa guru dan murid, terlebih dosen dan mahasiswa Gen-Z sekarang, harus menguasai teknologi untuk kemudian digunakan sebagai media pendukung dalam kegiatan pembelajaran. Jadi, kehadiran mesin e-learning hanyalah sebuah tools pelengkap dalam sistem pembelajaran untuk lebih memudahkan proses belajar. Kalau dulu jaman konvensional, kita kenal orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru. Kemudian pada metode Quantum berubah orientasi, dimana guru dan dosen sebagai fasilitator sedangkan pembelajaran berpusat pada keaktifan warga didik. Kini walau teknologi telah berkembang pesat, sejatinya pusat belajar tetaplah masih ada pada mereka, guru, dosen, dan murid / mahasiswa. Jadi tidak ada istilah atau wacana model bahwa pusat belajar telah bergeser dari manusia kepada mesin/teknologi.

Tulisan sederhana ini hanya sekedar sela, menyegarkan dan mengembalikan lagi pemahaman yang mungkin sempat “terbang”, bahwa wacana perubahan bentuk apapun ujungnya harus menghasilkan perbaikan dan manfaat lebih besar dari sebelum dilakukan perubahan.

Terakhir, ada satu pendapat yang penulis kutip tentang merenungkan kembali fungsi guru secara klasikal: “Materi pembelajaran adalah sesuatu yang penting, tetapi metode pembelajaran jauh lebih penting. Metode pembelajaran adalah sesuatu yang penting, tetapi guru jauh lebih penting daripada metode pembelajaran. Guru adalah sesuatu yang penting, tetapi jiwa guru jauh lebih penting dari seorang guru itu sendiri…”.

Jayalah Pendidikan Indonesia….

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I