logo-color

Publikasi
Artikel Populer

Rekoleksi Kelas VII SMPK Santo Pius X Lewoleba

Yustina Ngatini, S.Pd., Gr.

Yustina Ngatini, S.Pd., Gr.

SMPK ST.PIUS X LEWOLEBA
yustisiangatini@gmail.com

 “Ketika anak belajar bersyukur, ia menemukan siapa dirinya di hadapan Allah. Ketika ia belajar bersahabat, ia menemukan wajah Allah di dalam sesamanya.”

“Diciptakan, Dikasihi, dan Dipanggil Menjadi Sahabat Kristus”
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya; menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia.” (Kejadian 1:27)
“Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau.” (Yesaya 43:5)

Sekolah yang Menumbuhkan Iman dan Karakter

Di tengah tantangan zaman yang serba cepat dan individualistis, SMPK Santo Pius X Lewoleba terus meneguhkan misinya: membentuk generasi muda yang beriman, berkarakter, dan berbelarasa. Salah satu wujud konkret dari upaya ini adalah kegiatan rekoleksi bagi seluruh siswa dari kelas VII-IX, yang dirancang bukan sekadar sebagai kegiatan rohani tahunan, melainkan sebagai perjalanan batin yang memadukan refleksi, pengalaman, dan perjumpaan dengan Allah yang penuh kasih.

Dalam rekoleksi ini secara khusus kelas VII, para siswa diajak masuk ke dalam dua tema besar yang saling berkelindan: Mengenal Diri dan Kasih Allah serta Menjadi Sahabat Sejati seperti Yesus. Keduanya membentuk fondasi penting bagi pembinaan karakter: mengenali identitas diri sebagai citra Allah, menumbuhkan rasa syukur atas hidup, dan belajar mengasihi dalam relasi yang sehat dan tulus. Kegiatan ini mencapai puncaknya dalam Perayaan Ekaristi, yang menjadi ruang suci bagi anak-anak untuk mempersembahkan seluruh pengalaman mereka kepada Tuhan.

Sesi I – Mengenal Diri dan Kasih Allah: Syukur yang Menumbuhkan Hidup

Sesi pertama rekoleksi kelas VII SMPK Santo Pius X Lewoleba dimulai dalam suasana yang tenang dan penuh harap. Rekoleksi diawali dengan ibadat singkat agar siswa senantiasa menyadari keberadaannya dihadapan Allah Penciptanya.  Aula sekolah yang biasanya ramai oleh tawa kini berubah menjadi ruang doa dan refleksi walau ada selingan ice breaking untuk mengusir kepenatan. Lagu rohani lembut mengalun, mengundang setiap hati kecil untuk hening sejenak, menatap ke dalam diri, dan bertanya: “Siapakah aku di hadapan Tuhan?”

Pertanyaan sederhana itu membuka perjalanan batin yang dalam. Di usia remaja yang baru menapaki masa pencarian jati diri, banyak siswa sering menilai dirinya dari luar: dari nilai rapor, komentar teman, penampilan fisik atau penilaian orang lain. Namun pagi itu, mereka diajak melihat diri dari kacamata kasih Allah. Dari awal mula penciptaan, seperti tertulis dalam Kejadian 1:27, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Maka setiap pribadi — termasuk diri mereka yang masih belajar dan sering ragu — sesungguhnya berharga dan unik di mata Tuhan. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dengan segalan kelebihan dan kekurangannya.

Saya melihat wajah-wajah remaja itu mulai berubah. Ada yang terdiam sejenak, ada yang menunduk sambil tersenyum kecil, ada yang berjuang menahan air mata. Dalam ketenangan ruangan itu, kesadaran baru perlahan tumbuh: mereka berharga bukan karena prestasi, penampilan, atau kepintaran, tetapi karena Allah sendiri telah mencintai mereka sejak semula, sejak ia dibentuk di tempat tersembunyi. Inilah pengalaman iman yang tidak bisa dijelaskan dengan teori, hanya bisa dirasakan, diterima dan diyakini.

Setelah momen tenang reflektif dan komunikatif, kami mengajak mereka mengikuti kegiatan sederhana bernama Pohon Syukur. Di depan aula berdiri sebatang pohon besar dari exbanner cokelat dengan ranting-ranting yang masih kosong. Setiap siswa menerima selembar kertas berbentuk daun berwarna hijau. Tugasnya hanya satu: menuliskan hal-hal yang mereka syukuri dalam hidup mereka. Tak perlu muluk-muluk tetapi mulai dari yang sederhana yakni menyadari kasih Allah yang hadir dalam diri bapa dan mama, kakak-adik, guru, teman-teman serta talenta yang Tuhan anugerahkan kepada masing-masing individu.

Awalnya mereka tampak ragu. Tapi perlahan tangan-tangan kecil mulai menulis: “Saya bersyukur punya orang tua yang sabar,” “Saya bersyukur masih bisa sekolah,” “Saya bersyukur punya sahabat yang menghibur saya.” Ada pula yang menulis hal-hal sederhana namun tulus: “Saya bersyukur bisa tertawa hari ini,” “Saya bersyukur karena Tuhan masih memberi saya semangat.”

Satu per satu, mereka menempelkan daun-daun itu ke batang pohon besar. Semakin lama, pohon itu menjadi rindang dan berwarna — seolah benar-benar hidup oleh rasa syukur. Anak-anak menatap karya mereka dengan mata berbinar, dan saya pun ikut terharu. Dalam simbol yang sederhana itu, tampak pesan yang mendalam: hati yang bersyukur akan selalu bertumbuh, bahkan di tengah situasi sulit.

Dalam suasana hening itu, saya menyampaikan refleksi kecil: bahwa bersyukur bukan sekadar mengucap terima kasih ketika hal baik terjadi, melainkan kemampuan untuk melihat kasih Allah di balik setiap peristiwa — termasuk luka, kegagalan, dan hal-hal kecil yang sering kita abaikan. Syukur adalah seni menemukan kehadiran Tuhan di tengah keseharian.

Anak-anak kemudian diajak merenungkan makna pohon itu. Pohon yang kuat selalu berakar dalam. Demikian pula hati yang bersyukur — ia menjadi akar dari karakter yang baik. Dari syukur lahir kerendahan hati, dari syukur lahir optimisme, dari syukur lahir empati dan kepedulian. Hidup yang dijalani dengan syukur menjauhkan kita dari rasa iri dan keluh kesah, menggantinya dengan semangat memberi dan melayani.

Beberapa siswa kemudian berbagi pengalaman pribadi. Seorang anak berkata pelan, “Saya baru sadar, selama ini saya terlalu sering mengeluh. Padahal saya punya banyak hal yang harus saya syukuri.” Yang lain menimpali, “Saya bersyukur karena punya teman yang selalu mendengarkan saya, walau saya kadang marah.” Ruangan yang semula sunyi kini dipenuhi percakapan hangat dan jujur.

Melihat itu, saya merasa bahwa pembinaan karakter tidak selalu harus dengan nasihat panjang. Kadang cukup dengan memberi ruang bagi anak-anak untuk menemukan kebenaran itu sendiri. Ketika mereka menyadari bahwa hidup adalah anugerah, mereka akan belajar mencintai diri sendiri dan orang lain dengan lebih tulus.

Sesi ini ditutup dengan doa syukur sederhana. Setiap anak diminta menyebut satu kata yang ingin ia persembahkan kepada Tuhan hari ini: “Terima kasih untuk keluarga,” “Untuk sahabat,” “Untuk kasih-Mu.” Suara-suara kecil itu bergema pelan namun dalam.

Di akhir sesi, saya memandang Pohon Syukur yang kini penuh dengan daun berisi tulisan tangan mereka. Saya tersenyum — bukan hanya karena keindahan visualnya, tetapi karena saya tahu di balik setiap daun itu tersimpan pengalaman iman yang hidup. Mereka tidak hanya belajar mengenal diri, tetapi juga mulai memahami siapa sumber kasih dan kehidupan mereka.

Hari itu, saya menyadari satu hal penting: rasa syukur adalah fondasi segala pembinaan karakter. Anak yang tahu bersyukur akan lebih kuat menghadapi tantangan, lebih lembut dalam bersikap, dan lebih peka terhadap sesamanya. Karena syukur bukan sekadar kata, tetapi cara hidup yang menumbuhkan hati dalam kasih.

Sesi II – Persahabatan Sejati: Belajar Mengasihi Seperti Yesus

Jika sesi pertama meneguhkan identitas diri, maka sesi kedua memperluas horizon hati: menghidupi kasih itu dalam relasi. Bertolak dari sabda Yesus dalam Yohanes 15:15, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, melainkan sahabat,” para siswa diajak untuk memahami makna persahabatan sejati yang diteladankan Kristus.

Sebagai pemateri, saya mengajak anak-anak untuk berefleksi: Apa arti menjadi sahabat? Apa bedanya dengan sekadar berteman? Mereka menjawab dengan polos namun dalam: “Sahabat itu yang tidak meninggalkan saat kita sedih,” “Yang berani menegur saat kita salah,” “Yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.” Dari jawaban-jawaban itu, saya melihat kilasan kasih yang murni tumbuh di hati mereka.

Sesi ini dihidupkan melalui sosiodrama bertema “Ketika Persahabatan Diuji.” Dalam adegan-adegan sederhana, siswa memainkan kisah tentang konflik, kesalahpahaman, dan rekonsiliasi. Dari permainan itu, mereka belajar bahwa sahabat sejati bukanlah yang sempurna, tetapi yang tetap setia di tengah perbedaan. Sosiodrama menjadi cara kreatif untuk menanamkan nilai-nilai moral dan sosial-emosional secara konkret: empati, kejujuran, dan pengampunan.

Puncak sesi ini adalah komitmen pribadi. Setiap siswa menulis pada kartu kecil berbentuk hati: “Hari ini saya mau menjadi sahabat yang…” Lembaran-lembaran itu menempel di papan bertuliskan “Sahabat Sejati dalam Kasih Yesus.” Ada yang menulis menghibur teman yang sedih, ada yang berjanji tidak membandingkan diri, ada pula yang ingin memaafkan dengan tulus.
Kartu-kartu kecil itu menjadi saksi pertumbuhan rohani yang lembut namun nyata—buah dari pembinaan karakter yang menembus batas kognitif dan menyentuh ruang hati.

Puncak Rekoleksi – Perayaan Ekaristi: Syukur yang Menjadi Kehidupan

Sebagai puncak seluruh rangkaian kegiatan, Perayaan Ekaristi menjadi momen yang menyatukan seluruh pengalaman rohani hari itu. Dalam Ekaristi, para siswa mempersembahkan diri, rasa syukur, dan komitmen mereka di hadapan  Tuhan yang disatukan dalam kurban Ekaristi. Lagu-lagu rohani yang mereka nyanyikan dengan suara penuh sukacita menjadi ungkapan iman yang hidup—bukan karena mereka diharuskan, tetapi karena mereka merasakan kasih Allah yang nyata.

“Yesus tidak hanya ingin kalian mengenal-Nya, tetapi juga hidup seperti sahabat-Nya.” Kalimat itu menggema di ruang hati banyak anak. Saat Doa Umat dan Komuni Kudus, beberapa siswa menunduk lama, dalam diam yang sarat makna—diam yang berbicara tentang perjumpaan batin dengan Sang Sahabat Sejati.

Ekaristi menjadi titik balik: rasa syukur dari Pohon Syukur kini menemukan puncaknya dalam syukur yang disatukan dengan kurban Kristus. Relasi persahabatan yang mereka renungkan kini diperkuat dalam persekutuan iman. Dalam Ekaristi, kasih Allah bukan lagi kata-kata, melainkan pengalaman yang dihayati dan dihidupi.

Penutup: Hidup Sebagai Sahabat Kristus

Melalui rekoleksi ini, sekolah kembali menegaskan panggilannya: menjadi tempat di mana iman tumbuh, karakter dibentuk, dan kasih dihidupkan. Setiap kegiatan—refleksi, sosiodrama, komitmen pribadi, hingga Ekaristi—dirancang agar siswa tidak hanya belajar tentang nilai, tetapi mengalami dan menghidupinya.

Sebagai guru dan pemateri, saya bersyukur boleh menjadi bagian dari perjalanan rohani ini. Melihat anak-anak menuliskan syukur dengan jujur, meneteskan air mata saat menyadari kasih Tuhan, dan saling berpelukan setelah drama kecil mereka—itulah tanda bahwa Allah bekerja lembut di hati mereka.

Rekoleksi ini mengajarkan kita semua bahwa pendidikan sejati tidak hanya mengajar otak, tetapi menyentuh hati. Bahwa karakter sejati lahir dari iman yang bertumbuh dalam syukur dan kasih. Dan pada akhirnya, doa penutup hari itu menggema dalam keheningan yang penuh makna, mengikat seluruh perjalanan batin dalam satu pesan abadi:

“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, melainkan sahabat.” (Yohanes 15:15)

 

 

 

Tags

Share this post:

Postingan Lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jika ingin berlangganan berita dari kami, silakan memasukkan email pada kolom di bawah ini

Radar Edukasi adalah portal berita pendidikan di bawah naungan Penerbit P4I