Um Salamah
BPSDMD Provinsi Sumatera Selatan
umybae215@gmail.com
Di tengah derasnya perubahan sosial dan teknologi, kualitas peraturan perundang-undangan menjadi salah satu penentu apakah negara mampu mengelola dinamika baru atau justru tertinggal oleh realitas. Sayangnya, persoalan buruknya kualitas regulasi masih terus berulang di Indonesia. Kita menyaksikan aturan yang tumpang tindih, saling bertentangan, atau terlalu umum sehingga tidak dapat diterapkan secara efektif. Akibatnya, masyarakat sering kali bingung, birokrasi berjalan tidak efisien, dan dunia usaha menghadapi ketidakpastian yang tinggi. Di balik semua itu, terdapat akar persoalan yang jarang disoroti secara serius: proses penyusunan regulasi yang belum disiplin, tidak berbasis bukti, dan belum sepenuhnya terbuka.
Secara konseptual, penyusunan peraturan adalah kegiatan yang menggabungkan seni merumuskan norma dengan ilmu kebijakan. Jimly Asshiddiqie dalam Perihal Undang-Undang pernah menegaskan bahwa regulasi yang baik hanya dapat lahir dari proses legislasi yang transparan, partisipatif, dan rasional. Namun dalam praktik, pembentukan peraturan sering kali terjebak menjadi sekadar rutinitas birokrasi, bukan proses deliberatif yang sungguh-sungguh mengutamakan kepentingan publik. Banyak rancangan peraturan disusun dalam waktu singkat, bahkan dalam beberapa kasus seolah menjadikan regulasi sebagai solusi yang otomatis tersedia tanpa kajian mendalam terhadap masalah yang hendak dipecahkan.
Salah satu persoalan utama terletak pada kualitas teknik penyusunan. Bahasa hukum kita masih dipenuhi kalimat panjang, istilah yang tidak konsisten, dan struktur norma yang tidak sistematis. Hal ini tidak hanya membuat masyarakat awam sulit memahami isi peraturan, tetapi juga membuka ruang multi-tafsir yang dapat merugikan penegakan hukum. Peter Butt dan Richard Castle dalam Modern Legal Drafting menekankan bahwa regulasi harus ditulis sejelas mungkin agar pembaca dapat memahami kewajiban dan haknya tanpa menebak-nebak. Indonesia sudah memiliki pedoman teknis penyusunan peraturan, namun implementasi di lapangan sering kali tidak konsisten karena kemampuan drafters yang tidak merata. Penguatan pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan pendampingan penyusunan naskah perlu menjadi prioritas.
Selain teknik, persoalan substansi adalah tantangan besar lainnya. Banyak regulasi lahir tanpa didahului riset akademis yang memadai atau analisis dampak yang komprehensif. Di negara-negara maju, penyusunan regulasi modern sudah mengadopsi pendekatan evidence-based lawmaking dengan perangkat seperti Regulatory Impact Assessment (RIA). Pendekatan ini mewajibkan pemerintah menguji berbagai opsi kebijakan, menghitung dampak sosial dan ekonomi, serta memprediksi potensi masalah implementasi sebelum norma ditetapkan. Sebaliknya, tanpa pendekatan ini, regulasi kerap menjadi respons spontan dan emosional terhadap isu publik, yang pada akhirnya menimbulkan persoalan baru.
Tidak kalah penting, dinamika politik hukum berperan besar dalam menentukan kualitas peraturan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa pembentukan regulasi sering kali dipengaruhi kepentingan kelompok tertentu. Ketika proses legislasi atau penyusunan peraturan pemerintah berlangsung tertutup, peluang terjadinya regulatory capture menjadi sangat besar. Padahal, demokrasi modern menuntut agar regulasi dibentuk melalui proses yang terbuka, di mana publik dapat mengakses draf regulasi sejak awal, memberikan masukan, dan mengetahui alasan mengapa pilihan norma tertentu dipilih daripada opsi lainnya.
Kita juga menghadapi tantangan besar dalam harmonisasi antar-peraturan. Dengan banyaknya lembaga yang memiliki kewenangan regulatif—baik pusat maupun daerah—konflik norma tidak terhindarkan. Tumpang tindih antara undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah menjadi salah satu penyebab utama ketidakpastian hukum. Digitalisasi harmonisasi melalui basis data regulasi nasional dan penggunaan platform e-harmonisasi memang sudah berjalan, tetapi koordinasi antar-kementerian/lembaga masih perlu diperkuat.
Terakhir, satu aspek yang sering luput adalah pentingnya evaluasi pasca-penerapan. Banyak regulasi tidak pernah ditinjau kembali sejak diundangkan, meski kenyataan di lapangan menunjukkan kebutuhan revisi atau penyesuaian. Negara dengan sistem hukum maju selalu menerapkan siklus evaluasi reguler, termasuk menghapus aturan yang tidak efektif atau menambah ketentuan baru jika diperlukan. Tanpa evaluasi yang kuat, kita akan terus hidup dengan regulasi yang membebani masyarakat tanpa manfaat yang sebanding.
Pada akhirnya, membangun regulasi yang lebih bisa dipercaya bukan sekadar upaya memperbaiki naskah hukum. Ia adalah bagian dari upaya membangun pemerintahan yang lebih akuntabel, lebih responsif, dan lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat. Dengan memperkuat teknik penyusunan, memperluas penggunaan bukti empiris, meningkatkan transparansi, serta memperbaiki mekanisme evaluasi, Indonesia dapat memiliki arsitektur hukum yang lebih kokoh dan modern.
Referensi:
Asshiddiqie, J. (2010). Perihal undang-undang. Rajawali Pers.
Butt, P., & Castle, R. (2006). Modern legal drafting: A guide to using clearer language (2nd ed.). Cambridge University Press.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2020). Pedoman evaluasi peraturan perundang-undangan (Pedoman 6 dimensi). https://bphn.go.id/data/documents/bphn_pedoman_evaluasi_puu_2020.pdf
Hastuti, N. T. (2024). Pembentukan peraturan perundang-undangan yang efektif dan responsif. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional.
Wiryadi, U. (2024). Politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. [Jurnal Hukum].
Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.










2 Responses
Mantap
Bagus, kreati