
Drs. NURSIWAN, MM.
BPSDMD ROV. SUMSEL
nursiwaniwan382@gmail.com

TikTok, platform konten digital, telah merambah kehidupan masyarakat Indonesia. Dari kota sampai ke pelosok desa, menawarkan hiburan, sarana berekspresi, dan peluang ekonomi bagi penggunanya. Akan tetapi, di balik sinarnya yang memesona, TikTok menyimpan banyak dampak negatif yang mengkhawatirkan, menggerus sendi-sendi sosial, psikologis, dan bahkan ekonomi bangsa. Saatnya kita menyoroti fenomena ini secara kritis, tidak hanya sebagai penikmat pasif, melainkan sebagai warga negara yang peduli masa depan bangsa.
Dampak paling nyata tiktok adalah penurunan produktivitas, di kalangan generasi muda. Video yang singkat dan algoritma yang dirancang supaya pengguna tetap menggulir (scrolling) tanpa henti, menciptakan efek candu. Hasil Studi oleh Common Sense Media (2021) remaja menghabiskan rata-rata 8 jam sehari untuk hiburan, dengan sebagian besar waktu dihabiskan di media sosial seperti TikTok. Waktu terkuras habis di depan layar gawai dan penurunan prestasi akademik dan kinerja profesional.
Dampak dari tiktok yang tak kalah serius adalah masalah kesehatan mental, konten mengenai gaya hidup mewah, standar kecantikan yang tidak realistis, dapat memicu cemburu, dan rendah diri. Fenomena “Fear of Missing Out” (FOMO) juga semakin parah, mendorong individu untuk terus-menerus memantau media sosial demi merasa terhubung. Penelitian oleh Royal Society for Public Health (2017) menemukan bahwa platform media sosial, seperti video pendek, berkaitan dengan peningkatan tingkat kecemasan dan depresi. Penyebaran informasi yang salah (hoaks) dan konten negatif menjadi masalah krusial di TikTok. Algoritma yang cenderung memprioritaskan viralitas daripada akurasi, mempermudah penyebaran hoaks, ujaran kebencian dan konten yang tidak pantas bagi anak-anak. Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat rentan menjadi korban informasi sesat yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
TikTok juga berpotensi mengikis nilai-nilai budaya lokal dan identitas bangsa, seringkali menggeser tarian tradisional, musik daerah, di gantikan oleh konten viral yang bersifat sementara. Generasi muda sebagai pewaris budaya, lebih terpapar pada budaya asing. merupakan ancaman terhadap pelestarian budaya Indonesia.
Dari ekonomi, TikTok menawarkan peluang bagi sebagian kreator konten, memunculkan fenomena kepuasan instan. Banyak individu tergiur untuk menjadi “influencer” dengan harapan mendapatkan uang dengan cepat. Hal ini dapat menciptakan generasi yang kurang siap menghadapi tantangan dunia kerja dan mendorong konsumerisme akibat promosi produk yang gencar.
Karena dampak negatif ini, perlu ada upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, harus memperketat regulasi dan pengawasan terhadap konten TikTok, agar patuh norma dan hukum yang berlaku di Indonesia. Literasi digital juga harus digalakkan secara masif, pada generasi muda, agar menggunakan media sosial secara bijak dan bertanggung jawab.
Peran orang tua dan institusi pendidikan juga sangat penting. Orang tua perlu lebih aktif dalam memantau dan membimbing anak-anak mereka dalam penggunaan TikTok, antara dunia digital dan kehidupan nyata. Perlu meningkatkan sinergi antara regulasi yang kuat, literasi digital dan peran aktif keluarga serta institusi pendidikan, supaya meminimalkan dampak negatif TikTok dan memastikan bahwa teknologi ini benar-benar menjadi alat yang bermanfaat, bukan bumerang yang merugikan bangsa.
Referensi:
* Common Sense Media. (2021). The Common Sense Census: Media Use by Tweens and Teens, 2021. Diakses dari https://www.commonsensemedia.org/research/the-common-sense-census-media-use-by-tweens-and-teens-2021
* Royal Society for Public Health. (2017). #StatusOfMind: Social media and young people’s mental health and wellbeing. Diakses dari https://www.rsph.org.uk/our-work/campaigns/status-of-mind.html